Januari 11, 2009

LOMPATAN KSATRIA KATAK (2)

Seorang teman menyatakan keprihatinannya atas cerita “Lompatan Ksatria Katak” terdahulu. “Sangat real,” katanya. Dan, ia merasa jadi bagian dari kaum Ksatria Katak itu. Dalam konteks organisasi yang diikutinya, tentu saja. Sebaliknya, seorang teman lain bertanya-tanya, adakah cerita itu di dunia nyata? Kalau iya, bagaimana gambaran rincinya?

Bila teman yang pertama berada di sebuah lingkungan perusahaan besar, maka teman yang kedua baru saja lulus dari bangku kuliah. Maka, sangat wajar, bila cerita “Lompatan Ksatria Katak” menghadirkan dua persepsi yang bertolak-belakang; keprihatinan dan ketidakpercayaan. Sehingga, saya harus memilih, untuk memberikan cerita tambahan untuk kedua teman saya itu. Dan, semoga masing-masing menangkap pesan yang saya maksud dengan kejujuran.

Menyangkut pertanyaan pertama, di manakah setting cerita “Lompatan Ksatria Katak” itu terjadi? Jawabnya, sudah pasti melingkupi semua organisasi dengan banyak nama, bentuk, tujuan, dan ciri-ciri kekhasan lainnya. Bahkan, juga organisasi keagamaan. Termasuk juga, yang telah mengurusi para ikhwan yang tengah menekuni jalan menuju Tuhan alias majelis tarekat. Motifnya, macam-macam dan bikin muak untuk dibahas!

Bila jawaban di atas belum juga bisa menjelaskan, menurut saya, ada baiknya mengingat-ingat kembali lelakon “Petruk Dadi Raja” yang kerap dimainkan di panggung-panggung pewayangan. Semiotik cerita itu, pada hakekatnya tentang kesemrawutan sistem, hingga seorang punakawan bisa menjadi pemimpin. Akibat selanjutnya, para punakawan lain pun naik pangkat. Entah menjadi menteri, dirjen, direktur, atau Ketua RT. Dengan beranjaknya status kaum sudra yang juga “sudra” dalam kompetensi dan aturan profesional, maka muncullah kesemrawutan-kesemrawutan lain. Hingga, lompatan-lompatan para Ksatria Katak jadi tidak bermakna. Namun, kibas sayap burung merak, celoteh latah burung beo, auman harimau ompong, trik-trik licik kancil, atau penyamaran bunglon, menjadi lebih diperhitungkan.

Bila ilustrasi di atas terasa begitu subyektif dan tidak menjangkau nalar ilmiah, maka ada baiknya saya kutipkan esai Emha Ainun Nadjib dalam buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki”. Alkisah, terdapat dua musafir di padang pasir nan gersang, yang sayup-sayup melihat titik hitam di kejauhan. Musafir pertama yakin, titik hitam merupakan kerbau. Sedangkan musafir kedua tak kalah yakin, titik hitam itu merupakan benteng. Lalu, mereka pun bergegas mendekati sumber perdebatan itu.

Dalam setiap jarak tertentu, mereka terus menjejalkan keyakinannya. Yang satu mengatakan kerbau dan yang lain mengatakan banteng. Dan, keduanya sama-sama keras kepala. Sama kerasnya dengan batu yang tak retak akibat sengatan matahari. Hingga, mereka pun berhasil mendekati titik hitam itu. Sesaat kemudian, titik hitam yang telah berbentuk itu terbang ke angkasa.

“Burung!” kata musafir pertama.

Namun, musafir kedua tetap dengan keyakinannya bahwa titik hitam itu merupakan banteng. Musafir pertama emosi. Karena, ia merasa matanya masih sehat dan wawasannya yang mumpuni untuk menyimpulkan, titik hitam yang bisa terbang itu merupakan burung. Musafir kedua juga tak kalah galaknya, untuk mempertahankan argumennya. Sehingga, keduanya juga tidak pernah bisa akur dan keukeuh dengan keyakinannya.

Profil musafir kedua yang ngotot dengan pendapatnya – meski salah dan jelas-jelas salah – merupakan gambaran orang-orang yang memainkan sistem di Kerajaan Rimba. Persisnya, dengan pemimpin yang tidak memiliki trah dan sudra dalam segala hal. Ya, persis lelakon “Petruk Dadi Raja”. Ia hanya patuh pada kebijakan sang Raja, sesalah atau sebodoh apapun. Dan, sudah pasti mereka tidak mengenal jargon “lompatan Ksatria Katak” dalam kamus pribadinya. Karena, mereka hanya mengenal kamus yang disodorkan sang Raja.

Sebaliknya dengan musafir pertama yang lurus dan jujur, maka jadi makhluk tidak popular di lingkungan kerajaan itu. Dan, seandainya ia mau diperhitungkan kembali hingga bisa bergabung dalam tim, maka ia harus memperbaiki kepolosan nalarnya. Jangan takut dibilang bodoh atau tidak berwawasan. Karena, patokan kompetensi sudah bergeser. Bergegaslah untuk mengikutinya, atau terlempar dari sistem dan menjadi ksatria-ksatria tak bertuan ala Ronin.

Masalahnya, apakah seseorang yang merasa memiliki Tuhan, apapun agamanya, ikhlas menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada keadaan? Apakah keimanan yang dibangun sejak balita harus luntur, hingga tanpa sadar menuhankan manusia lain? Padahal, Yang Mahaperkasa pun memiliki kecemburuan yang tinggi dan sangat tidak ikhlas hambaNya harus bergeser, hanya karena takut kehilangan posisi dan masa depan. Bukankah kedua hal itu sudah diatur olehNya?

Meniatkan diri untuk mulai ber“hijrah” secara ruhaniah merupakan lompatan ala Ksatria Katak terbesar dan bersejarah dalam kehidupan manusia. Tumbuhnya kesadaran untuk makin mengenalNya jauh lebih penting dibandingkan hal apapun. Sehingga, ketika para merak, beo, harimau ompong, kancil, bunglon, atau hewan-hewan lain yang takut susah berkeliaran dan menggoda keimanan, kita tetap istiqomah untuk berada di jalanNya.

Dan agar niat itu tidak sia-sia dan sekedar pelampiasan keputusasaan, maka harus dibuktikan dengan amaliyah. Setiap agama memiliki cara masing-masing untuk menunjukkan kesusungguhannya ber”hijrah”. Yang dibutuhkan. kedisiplinan untuk menjalankannya. Plus, tanpa menoleh kiri-kanan, tapi lurus ke depan ke arah Yang Mahakuasa.

Bila hal itu juga masih membuat hati dan pikiran goyah, maka segeralah mendekati guru yang sebenar-benarnya guru. Dan, tidak larut dalam diskusi-diskusi pepesan kosong atau buku-buku bacaan. Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jalilani QS, “Buanglah buku-bukumu dan carilah seorang guru, bila engkau ingin mendekatiNya.” Tujuannya, agar kita benar-benar mendapat bimbingan yang betul untuk mendekatiNya dan tidak diombang-ambing pendapat-pendapat yang tak jelas. Dengan adanya guru, maka “hijrah” itu jadi lebih terarah dan benar-benar memberikan makna atau lompatan terbesar ala Ksatria Katak itu.[]

Selengkapnya...

LOMPATAN KSATRIA KATAK

Cerita tentang Ksatria Katak saya dapat dari mantan Imamu Masjid Kraton Benteng Wolio di Pulau Buton dua tahun yang silam. Pada masa Kesultanan Kesultanan Butuni, Imamu Masjid memiliki peran sentral dalam bidang spiritual. Ia merupakan sultan kedua di organisasi itu dengan julukan Sultan Batin. Dan, di tingkat spiritualnya, ia diyakini bukan sekedar ahli tarekat atau hakekat, tapi ahli ma’rifat!

Namun, saya tidak akan berpanjang-panjang dengan cerita kejayaan dan era emas Imamu Masjid di masa silam. Karena, hanya akan menyita berlembar-lembar halaman dan konteksnya belum cukup penting untuk diungkap. Dan, saya lebih tertarik mengingat kembali amsal atau pemisalan yang diungkap sang mantan Imamu Masjid tentang Ksatria Katak.

Tuturnya, dalam setiap ruang kehidupan terdapat banyak tokoh dan karakter. Kalau mau merenung sedikit saja, kita segera sadar, karakter dari setiap tokoh itu sebenarnya merupakan penampakan dari karakter hewan-hewan di hutan luas. Artinya, setiap manusia menyimpan potensi kehewanan. Selain itu, aksi-aksi yang diperlihatkan manusia di kehidupan nyata pun tak ubahnya aksi-aksi hewan-hewan di Kerajaan Rimba.

Lantas, ia pun mengenalkan saya pada tokoh Kstaria Katak di Kerajaan Rimba itu. Meski sekedar katak, menurutnya, hewan itu memiliki kegemilangan yang tak seburuk rupa dan bentuknya. Karena, ia memiliki lompatan-lompatan yang melebihi kecepatan, kecerdasan, dan kesetiaan hewan lain. Berkat kelebihannya itulah ia terkenal dengan jargon “lompatan Ksatria Katak”.

Lahirnya jargon itu, karena ia memiliki hasil kerja, prestasi, atau rekor, yang di atas rata-rata. Bahkan, ia sanggup berbuat sesuatu melebihi kapasitasnya atau kstaria-ksatria yang lebih tinggi kastanya. Problemnya, sang Ksatria Katak terlalu asyik dengan tanggung jawab dan peraihan hasil maksimal atas kerjanya. Namun, ia malas berkoordinasi atau melaporkan hasil kerja di setiap tahapan-tahapan. Sehingga, ia sering dianggap berjalan dalam dunianya sendiri dan lepas kendali. Akibat “cacad” itu, lompatan sang Kstaria tidak pernah dihitung atau diapresiasi. Karena, Kerajaan Rimba lebih mengakomodir para ksatria yang rajin melapor, bekerja sesuai trek, dan pintar membuka peluang untuk dekat dengan pengendali sistem.

Meskipun begitu, sang Kstaria Katak akan terus bekerja sesuai amanat Raja. Karena, sesungguhnya ia tidak membutuhkan pujian dan sanjungan, selain membuat lompatan demi lompatan untuk kejayaan Kerajaan Rimba. Bahkan, ia juga tidak peduli ketika ia ditempatkan sebagai Ronin – Ksatria Samurai tanpa tuan dalam mitos Jepang – lantaran kalah pintar berpolitik dibandingkan ksatria lain.

Sejenak saya terdiam mendengar cerita Imamu Masjid. Namun, imajinasi di kepala ini bergerak liar dan menangkap nama Sri Bintang Pamungkas dan sahabat saya, Bambang Warih Koesoema. Pada masa orde baru, keduanya direcall dari panggung DPR karena “lompatan-lompatan Ksatria Katak”nya yang tak lazim dan di luar kendali partai.

Lima tahun yang silam, saya sempat membuat film dokumenter perjalanan Bambang Warih Koesoema menuju kursi senator. Saya paham, ia memang brilian, teramat kaya wawasan, dan terlalu luar biasa untuk kelas DPD. Sehingga, bila membandingkan dengan caleg-caleg yang muncul di saat sekarang, ia teramat perkasa. Maka, sangat wajar bila ia memiliki keberanian untuk membuat lompatan ala Ksatria Katak. Dan, wajar bila ia harus didepak dari sistem!

Dalam dunia spiritual, saya juga tak bisa melepaskan nama Hussein Al-Hallaj dengan pemaham wahdatul wujud-nya dan Syekh Siti Jenar dengan keyakinan Manunggaling Klawan Gusti-nya. Kedua “lompatan” itu merupakan pencapaian ruhani yang telah ma’rifat hingga terjadi penyatuan antara Pencipta dan yang dicipta secara ruhani. Keduanya menampakkan penyataan itu ketika mereka dalam kondisi fana, sehingga manusia awam beranggapan, “Mereka mengaku sebagai Tuhan!”

Buah dari “lompatan Ksatria Katak”nya, Al-Hallaj wafat di tiang gantungan lantaran dieksekusi Guru Mursyidnya sendiri, Syekh Abil Qasim Junaid Al-Baghdadi RA. Sebenarnya, sang Guru Mursyid tidak pernah menyalahkan keyakinan Al-Hallaj, namun sang murid dinilai tidak cerdas. Karena, ia melepaskan sisi kemanusiaannya ketika berada di tingkatan itu. Kesalahan terbesar lain, ia terlalu lancang membongkar rahasia tertinggi spiritual itu kepada manusia biasa.

Alasan penghukuman Dewan Wali Sanga atas Syekh Siti Jenar juga tidak jauh berbeda, yakni terkait “lompatan Ksatria Katak”nya. Sehingga, Syekh Siti Jenar harus menjadi martir atas lompatan yang melebihi batas dan tanpa koordinasi para wali lain. Point tidak rajin berkoordinasi alias jalan sendiri memang sangat memberatkan, melebihi fokus utama masalah yang memperkankan ajaran ma’rifat secara terbuka.

Masa telah bergulir jauh ke era lautan dan daratan menyatu dalam ikatan globalisasi. Batas-batas dunia telah pupus dirajut teknologi. Manusia antarbangsa menyatu di bawah antariksa komunikasi. Resiko keeratan itu, manusia modern orang lebih takut dijuluki “gagap teknologi” ketimbang “gagap guyub”. Dan, mereka juga dibuat terbiasa mengeluh sedih tanpa berbuat banyak, ketika tentara zionis membantai warga Palestina. Mereka juga hanya mesem-mesem ketika krisis globalisasi mengiris-ngiris nasib kaum dhuafa di berbagai belahan dunia.

Seiring dengan itu, kita juga tahu, “lompatan Ksatria Katak” ala Sri Bintang Pamungkas atau Bambang Warih Koesoema telah bermetamorfosis dalam berbagai bentuk dengan macam-macam karakter atau pelakon. Konsep Wahdatul Wujud–nya Hussein Al-Hallaj dan Manunggaling Klawan Gusti–nya Syekh Siti Jenar juga tetap mendapat tempat. Entah benar-benar menjadi keyakinan penuh atau sejedar lompatan untuk mencerahkan diri. Itu artinya, “lompatan Ksatria Katak” itu tetap memiliki apresiasi dan nilai di masa-masa selanjutnya.

Kesimpulannya, setiap orang memiliki potensi untuk melakukan lompatan-lompatan ala Ksatria Katak. Namun, ia juga harus menimbang resiko dan dampak yang bakal didapat. Buat kita, mungkin lompatan itu hebat dan mempesona, tapi bagaimana dengan sekitar kita? Bagaimana dengan sistem? Karena, jangan-jangan sistem masih mengakomodir cara hidup para ksatria yang lurus, patuh, dan setia berjalan sesuai trek, tanpa hasil yang meletup-letup. Sehingga, lompatan itu bukan hanya mubazir, namun justru menjadi nilai teramat buruk di kemudian hari. Boleh saja kita berdalih bahwa lompatan itu dilakukan untuk kejayaan sistem. Tapi, apakah hal itu dipahami juga oleh sekeliling kita atau sistem?

Pilihan memang ada di tangan kita untuk menjadi berbuat apa saja dengan kapasitas yang ada. Baik mencoba “berulah” dengan lompatan Ksatria Katak versi kita, maupun bertahan dengan kepatuhan pada sistem. Kedua pilihan itu tetap mengundang resiko. Karena, pada hakekatnya, kita tengah bermain di ranah fisik yang semuanya dirundung banyak faktor dan ketidakpastian.

Jangan berpikir, sekeliling kita akan mudah memahami pola pikir atau keinginan kita. Dan, jangan juga mencoba-coba menyandarkan pemikiran itu pada agama, karena bisa tidak “nyambung”. Boleh saja kita keyakinan, karena orang-orang di sekitar kita telah hafal dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits, rajin menelah kitab tasawuf klasik Al-Hikam atau Sirrul Asraar-nya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani QS. Tapi, sekali lagi, persoalan dunia bisa membutakan mata batin dan mata lahirnya, hingga bila lompatan tidak berkenan di mata sistem maka jadi tidak bermakna pula di mata-mata mereka.

Yang pasti, saya makin terperangah, ketika mantan Imamu Masjid membiuskan pesan atas cerita “lompatan Ksatria Katak”nya itu bahwa setiap dari kita harus membuat lompatan besar dalam hidup kita di bidang ruhani. Sekali lagi di bidang ruhani, bukan jasmani. Artinya, saatnyalah menyadari bahwa kita memiliki beban tanggung jawab hidup untuk dunia dan akhirat. Saatnyalah mengetahui bahwa pencapaian lompatan-lompatan itu terkait jasmaniah dan ruhaniah. Saatnyalah meyakini bahwa hasil dari kedua hal itu berhubungan dengan kedekatan kita dengan Yang Mahapencipta. Pada satu titik, ketika usia semakin senja, lompatan mendekatiNya adalah lompatan terhebat sang Ksatria Katak.

“Lompatan itulah yang dilakukan Rasulallah SAW di Goa Hira saat berusia 40 tahun. Lalu, ia juga berkesempatan melakukan lompatan lain melalui momen Isra dan Mi’raj. Dan, banyak rentetan lompatan-lompatan. Dan, semuanya berawal dari lompatan di Goa Hira,” kata sang mantan Imamu Masjid.

Belakangan, saya baru sadar bahwa lompatan sang Ksatria Katak itulah yang disebut “hijrah”. Ya, hijrah secara ruhani. Hijrah untuk lebih memikirkan masalah akhirat dibandingkan masalah dunia. Hijrah untuk mencapai maqom-maqom spiritual yang lebih tinggi dibandingkan prestasi duniawi. Dan, hijrah untuk makin erat dan ikatan mahabbah dan ma’rifat dengan Yang Mahamencintai.

Artinya, sebagian dari kita boleh menderita kalah berkat resiko lompatan ala Ksatria Katak di ranah jasmaniah. Tapi, semoga saja, hal itu menjadi pelajaran untuk segera melakukan lompatan ala Ksatria Katak di arena ruhaniah. Karena, pada hakekatnya, arena ruhaniah pun membutuhkan perhatian besar dibandingkan ranah jasmaniah. Dan, buah pencapaiannya juga sangat-sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan di alam fana itu, dan tentu saja, di alam baqa kelak.[]

Selengkapnya...

NABI-NABI BLOG

Sebelum Anda gusar dengan judul di atas, saya tegaskan bahwa harusnya kata “nabi-nabi” ditulis dengan tanda petik. Karena, hal itu bukan dalam arti sesungguhnya sebagai khalifah fil ardhi untuk menyebarkan risalah agama. Namun, “nabi-nabi” adalah gambaran orang-orang yang berupaya menyebarkan persepsi, interpretasi, dan persuasi tentang masalah agama kepada orang lain. Kenapa harus dengan tanda petik?

Selain berkaitan dengan petunjuk Allah SWT bahwa nabi terakhir adalah Rasulallah Muhammad SAW, obyek yang saya maksud adalah orang-orang yang cenderung memaksakan pemahaman tentang agama (baca: Islam) dengan dalil yang asal-asalan. Bahkan, cenderung fitnah. Di samping itu, tentu saja berhubungan dengan keinginan, agar mesin pencari lebih mudah menemukan kata-kata kunci di atas.

Penegasan ini harus saya diletakkan di paragraf teratas, dengan harapan, para pembaca bisa memahami inti permasalahan dan tidak membias pada bingkai-bingkai pemikiran lain. Bukan lantaran takut dengan reaksi atau komentar pembaca. Namun, hal ini lebih didasarkan motivasi, agar pesan itu diterima dengan lapang dan benar.

Cerita kali ini bermula dari keluhan seorang teman yang gusar disebut go”BLOG”er oleh temannya, lantaran ia rajin menulis di blog-blog pribadi dan perusahaan. Ia ikutan menulis di blog milik perusahaan, katanya, karena kesal terhadap wacana yang disodorkan teman-temannya. Kenapa? Banyak jawabannya. Salah satunya yang saya ingat, karena seorang teman wartawan beragama non-Islam berani-beraninya mengulas masalah zakat! Bahkan, dengan referensi ajaran agamanya dan agama lain!

Tiba-tiba, ia ngotot untuk menjadi bagian dari blog itu. Tujuannya, sekedar menjaga kredibilitas blog perusahaan dan mengimbangi kekeliruan membagikan analisis masalah. Selain itu, ia pun memang sedang sangat berkeinginan untuk “berwasiat soal kebenaran dan kesabaran” seperti yang diamanatkan Baginda Rasulallah SAW. Berlebihan?

Saya pastikan, tidak. Karena, niat itu begitu mulia di mata saya. Tidak ada yang keliru dengan niat kebaikan. Terlebih lagi, ia memasuki ranah fisabilillah atau berjuang untuk jalan Allah SWT, yang hitungannya tidaklah seksi.

Belakangan ini, sang Penulis Blog mengungkapkan keluhan baru. Bila dulu ia hanya tertawa-tawa disebut anggota komunitas go”BLOG”er. Kali ini, ia benar-benar marah. Sangat-sangat marah! Pasalnya, berkaitan dengan blog atau situs yang mengungkap sisi terbalik tentang Baginda Rasulallah SAW dan Allah SWT. Saat itu menuturkan masalah itu, titik-titik air bening bermunculan di sudut matanya. Subhanallah.

“Belum lagi fitnah berbentuk kartun di lapotuak.wordpress.com hilang dari ingatan, saya juga menemukan fitnah-fitnah berbentuk tulisan dan gambar di febrina.blogspot.com, faithfreedom.org, dan admin2i2h.blogspot.com. Kekejian itu bukan hanya untuk Baginda Rasullah SAW, tapi juga terhadap Allah SWT! Ini keterlaluan!

Semula saya berpikir, penulisnya pasti dari kalangan agama tertentu. Tapi, setelah diteliti lebih hati-hati, saya yakin, mereka cenderung dari kalangan yang tidak mempercayai Tuhan. Atheis. Dan, dengan ‘kecerdasan’nya, mereka begitu percaya diri untuk memutarbalik tafsir tentang Al-Qur’an dan Hadits. Makin dibaca makin membuat kening berkerut. Hati ini juga panas dibuatnya. Tapi ingat cerita sampean dulu, pada masanya memang akan muncul nabi-nabi baru dengan kemasan khutbah yang aduhai namun menyesatkan. Kesimpulan saya, mereka itu seperti bernafsu menjadi nabi-nabi blog! Naudzubillah,” katanya lirih.

Kali ini saya terdiam. Mengunci rapat-rapat mulut jadi lebih asyik dibandingkan buru-buru mengomentari keluhannya. Khawatir makin membakar amarahnya. Sehingga, justru dosa yang dipetik. Saat hati terus menyebutkan namaNya, pikiran saya justru menerawang pada cerita-ceritanya dulu.

Ia pernah begitu bangga dengan kedasyatan teknologi dunia maya dan kekuatan sebaran informasinya. Sehingga, ia harus ikut bermain di dunia itu sambil mengobarkan semangat berbagi cerita kebaikan. Di dunia blogger itu juga ia mengenal istilah “pembela Tuhan”, “monopoli Tuhan”, “pencerahan”, dan berbagai istilah terbitan kaum pseudosufisme alias sufi-sufian. Ia bisa menyebutnya seperti itu, karena penulis dan pencetus istilah-istilah itu teman-temannya sendiri, yang sudah sangat dikenal prilaku sehari-harinya.

Ia pasti sangat marah dengan fitnah tentang Baginda Rasulallah SAW, Karena, ia sangat meyakini bahwa sesungguhnya seluruh manusia diciptakan dengan bahan baku ruhaninya yang disebut Nur Muhammad. Kemuliaan namanya tercatat di langit ke tujuh dan disaksikan Nabi Adam AS saat bermunajat kepada Allah SWT di Taman Firdaus. Bahkan, Allah SWT dan para malaikat pun senantiasa bersalawat untuknya. Karena, Baginda adalah manusia paling sempurna dan mahsum – selalu terlindungi dari keburukan.

Bila ada sekelompok orang yang tega melontarkan fitnah, maka miliaran atau triliunan umatnya tidak akan peduli untuk terus bersalawat kepadanya. Karena itu, ia dan juga kaum muslim di mana pun akan selalu yakin, Baginda sangat berbeda dengan imajinasi orang-orang yang tidak mengenalnya. Meski gambar atau kartun yang mencoba “memainkan” fantasi itu bermunculan, maka kaum muslim yang istiqomah secara kaffah tidak akan peduli. Karena, mereka bisa mendapati hadrahnya. Subhanallah.

Itu baru sebagian kecil cerita tentang Sang Kekasih Allah. Bila halaman ini direntangkan hingga negerinya Tuan Obama, maka dijamin tidak akan sanggup memuat uraian dan segala kemuliaannya. Dan bila dituturkan secara lisan, maka waktu pun tidak akan sanggup menahannya.

Maka jangan lagi dibayangkan, bila kita berkeinginan untuk mengurai tentang adaNya, kuasaNya, rahmanNya, rahimNya, dan… Karena, sudah pasti, tidak ada lagi halaman dan waktu yang bisa disediakan. Terlalu banyak. Dan akal ini tidak akan sanggup menampungnya. Dalam benak teman saya itu pun pasti terbesit keyakinan, semua fitnah dan upaya pemaksaan faham melalui blog itu terlalu kecil dan tidak akan pernah bermakna.

Namun saya pun berpendapat, amarah yang muncul pada teman saya itu, karena ia tidak berupaya memaklumi bahwa sesungguhnya para blogger itu tidak tahu dan tidak pernah mengenalNya. Bahkan, menurut bingkai agama yang dianutnya. Terlebih lagi, dalam frame kaum muslim. Sehingga, akalnya menerawang tanpa batas. Tanpa berpikir resiko, dampak, kekecewaan, apalagi hujatan. Cara “bermain-main”nya itu tak berbeda jauh dengan teman-teman, yang tega mendesain wajah wanita baik-baik ditambahkan pada wanita tak berpakaian. Semuanya berlangsung tanpa merasa berdosa. Tapi, “bermain-main” dengan Baginda Rasullah SAW dan Allah SWT, jelas, perlu mendapat catatan tersendiri. Artinya, bisa jadi, motifnya tidak sekedar “bermain-main”.

Kalau mereka mengenal ajaran Islam yang sesungguhnya, memahami keberadaan Baginda Rasulallah SAW yang sebenarnya, dan meyakini kekuasaan Allah SWT yang senyatanya, cerita itu akan berbeda. Bahkan, kalau saja, mereka mendalami dan mengamalkan Rukun Islam dengan keikhlasan, maka content blog atau situsnya pun akan berubah. Tiba-tiba saya teringat cerita ustadz di majelis taklim dulu.

“Andai orang tahu nikmatnya shalat, mereka pasti akan melipatgandakan rakaat shalat sunnahnya. Karena, shalat merupakan “ruang terindah” untuk mendekatiNya. Andai orang tahu nikmatnya dzikir, mereka pasti akan melantunkannya tanpa henti di bibir dan hati. Karena, dzikir merupakan kesempatan untuk menyediakan “ruang khusus” untukNya di dalam kolbu. Andai orang tahu nikmatnya berdoa, mereka pasti akan menyerukan seluruh permintaannya. Karena, doa merupakan kesempatan untuk terus menyapaNya.

Andai orang tahu nikmatnya puasa, mereka pasti akan melaksanakannya di hari-hari selain di bulan Ramadhan. Karena, puasa merupakan kesempatan untuk menunjukkan bakti dan kecintaan kepadaNya. Andai orang tahu nikmatnya zakat, mereka pasti akan terus membagikan hartanya untuk kaum mustahik. Karena, zakat merupakan kesempatan untuk menjadi kepanjangan sifat rahman-rahimNya.

Andai orang tahu nikmatnya haji, mereka pasti akan terus menjadi tamuNya setiap waktu. Karena, haji merupakan “ruang ternikmat” untuk berdekatan dan merasakan kehadiranNya. Bahkan, dalam suatu silaturahim akbar. Andai mereka tahu seluruh amaliyah itu akan membuktikan makna syahadat, mereka pasti tidak akan pernah ragu lagi untuk mengamalkannya dengan keikhlasan. Karena, syahadat yang sesungguhnya adalah penyaksian adaNya.

Persoalannya, hidayah tidak bisa dibeli di pasar swalayan. Dan, tidak semua orang bisa memaknai setiap peristiwa sebagai hidayah untuk mendekatkan diri kepadaNya. Padahal, hanya dengan hidayahlah seseorang akan terdorong untuk mengamalkan amaliyah itu. Dan dengan totalitas amaliyah itu, ia akan benar-benar mengenalNya. Bukan karena pengaruh cerita ustadz atau perjalanan ibadah yang sekilas, tapi karena haqqul yaqin. Yakin karena ma’rifat!” katanya waktu itu.

Saya tidak berani mengumbar renungan itu kepada teman yang tengah galau itu. Karena, saya tidak yakin, apakah ia pun bisa menerima dan memahaminya dengan baik. Saya khawatir, jangan-jangan pemikiran itu akan menjadi “peluru” untuk tulisan di blognya nanti. Sehingga, pembaca lain akan berbalik menuduhnya sebagai “Nabi Blog”.

Memahami dan mengamalkan ayat terakhir surat Al-Kafirun, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”, memang membutuhkan kesabaran dan pengorbanan. Saya juga teringat pesan seorang Guru Mursyid ternama Pondok Pesantren Suryalaya Pangersa Abah Anom, “Untuk tidak mencampuri pengajaran murid lain dan tidak pernah marah akan ejekan murid lain.”

Entah apa teman saya akan merasa lapang, bila hasil konteplasi itu saya sampaikan(?) Yang pasti, kini saya mengerti, kenapa temannya teman saya itu melemparkan istilah go”BLOG”er. Jangan-jangan, ya jangan-jangan.[]

Selengkapnya...

November 06, 2008

MATEMATIKA GAJI VS SEDEKAH

Dalam satu kesempatan tak terduga, saya bertemu pria ini. Orang-orang biasa memanggilnya Mas Ajy. Saya tertarik denga falsafah hidupnya, yang menurut saya, sudah agak jarang di zaman ini, di Jakarta ini. Dari sinilah perbincangan kami mengalir lancar. Kami bertemu dalam satu forum pelatihan profesi keguruan yang diprogram sebuah LSM bekerja sama dengan salah satu departemen di dalam negeri. Tapi, saya justru mendapat banyak pelajaran bernilai bukan daripelatihan itu. Melainkan dari pria ini.

Saya menduga ia berasal dari kelas sosial terpandang dan mapan. Karena penampilannya rapih, menarik, dan wajah yang tampan. Namun tidak seperti yang saya duga, Mas Ajy berasal dari keluarga yang pas-pasan. Jauh dari mapan. Sungguh kontras kenyataan hidup yang dialaminya dengan sikap hidup yang dijalaninya. Sangat jelas saya lihat dan saya pahami dari beberapa kali perbincangan yang kami bangun.

Satu kali kami bicara tentang penghasilan sebagai guru. Bertukar informasi dan memperbandingkan nasib kami satu dengan yang lain, satu sekolah dengan sekolah lainnya. Kami bercerita tentang dapur kami masing-masing. Hampir tidak ada perbedaan mencolok. Kami sama-sama bernasib "guru" yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa. Yang membedakan sangat mencolok antara saya dan Mas Ajy adalah sikap hidupnya yang amat berbudi.

Darinya saya tahu hakikat nilai di balik materi: Penghasilannya sebulan sebagai guru kontrak tidak logis untuk membiayai seorang isteri dan dua orang putra-putrinya. Dia juga masih memiliki tanggungan seorang adik yang harus dihantarkannya hingga selesai SMA. Sering pula Mas Ajy menggenapi belanja kedua ibu bapaknya yang tak lagi berpenghasilan. Menurutnya, hitungan matematika gajinya barulah bisa mencukupi untuk hidup sederhana apabila gajinya dikalikan 3 kali dari jumlah yang diterimanya.

"Tapi, hidup kita tidak seluruhnya matematika dan angka-angka. Ada dimensi non matematis dan di luar angka-angka logis."

"Maksud Mas Ajy gimana, aku nggak ngerti?"

"Ya, kalau kita hanya tertuju pada gaji, kita akan menjadi orang pelit. Individualis. Bahkan bisa jadi tamak, loba. Karena berapa pun sebenarnya nilai gaji setiap orang, dia tidak akan pernah merasa cukup. Lalu dia akan berkata, bagaimana mau sedekah, untuk kita saja kurang."

"Kenyataannya memang begitu kan, Mas?" kata saya mengiayakan. "Mana mungkin dengan gaji sebesar itu, kita bisa hidup tenang, bisa sedekah. Bisa berbagi." Saya mencoba menegaskan pernyataan awalnya.

"Ya, karena kita masih menggunakan pola pikir matematis. Cobalah keluar dari medium itu. Oke, sekarang jawab pertanyaan saya. Kita punya uang sepuluh ribu. Makan bakso enam ribu. Es campur tiga ribu. Yang seribu kita berikan pada pengemis, berapa sisa uang kita?"

"Tidak ada. Habis," jawab saya spontan.

"Tapi saya jawab masih ada. Kita masih memiliki sisa seribu rupiah. Dan seribu rupiah itu abadi. Bahkan memancing rezeki yang tidak terduga." Saya mencoba mencerna lebih dalam penjelasannya. Saya agak tercenung pada jawaban pasti yang dilontarkannya. Bagaimana mungkin masih tersisa uang seribu rupiah? Dari mana sisanya?

"Mas, bagaimana bisa. Uang yang terakhir seribu rupiah itu, kan sudah diberikan pada pengemis," saya tak sabar untuk mendapat jawabannya.

"Ya memang habis, karena kita masih memakai logika matematis. Tapi cobalah tinggalkan pola pikir itu dan beralihlah pada logika sedekah. Uang yang seribu itu dinikmati pengemis. Jangan salah, bisa jadi puluhan lontaran do'a keberkahan untuk kita keluar dari mulut pengemis itu atas pemberian kita. Itu baru satu pengemis. Bagaimana jika kita memberikannya lebih. Itu dicatat malaikat dan didengar Allah. Itu menjadi sedekah kita pada Allah dan menjadi penolong di akhirat. Sesungguhnya yang seribu itulah milik kita. Yang abadi. Sementara nilai bakso dan es campur itu, ujung-ujungnya masuk WC."

Subhanallah. Saya hanya terpaku mendapat jawaban yang dilontarkannya. Sebegitu dalam penghayatannya atas sedekah melalui contoh kecil yang hidup di tengah-tengah kita yang sering terlupakan. Sedekah memang berat.

Sedekah menurutnya hanya sanggup dilakukan oleh orang yang telah merasa cukup, bukan orang kaya. Orang yang berlimpah harta tapi tidak mau sedekah, hakikatnya sebagai orang miskin sebab ia merasa masih kurang serta sayang untuk memberi dan berbagi.

Penekanan arti keberkahan sedekah diutarakannya lebih panjang melalui pola hubungan anak dan orangtua. Dalam obrolannya, Mas Ajy seperti ingin menggarisbawahi, bahwa berapa pun nilai yang kita keluarkan untuk mencukupi kebutuhan orangtua, belum bisa membayar lunas jasa-jasanya. Air susunya, dekapannya, buaiannya, kecupan sayangnya, dan sejagat haru biru perasaannya. Tetapi di saat bersamaan, semakin banyak nilai yang dibayar untuk itu, Allah akan menggantinya berlipat-lipat.

"Terus, gimana caranya Mas, agar bisa menyeimbangkan nilai matematis dengan dimensi sedekah itu?"

"Pertama, ingat, sedekah tidak akan membuat orang jadi miskin, tapi sebaliknya menjadikan ia kaya. Kedua, jangan terikat dengan keterbatasan gaji, tapi percayalah pada keluasan rizki. Ketiga, lihatlah ke bawah, jangan lihat ke atas. Dan yang terakhir, padukanlah nilai qana'ah, ridha, dan syukur".

Saya semakin tertegun. Dalam hati kecil, saya meraba semua garis hidup yang telah saya habiskan. Terlalu jauh jarak saya dengan Mas Ajy. Terlalu kerdil selama ini pandangan saya tentang materi. Ada keterbungkaman yang lama saya rasakan di dada. Seolah-oleh semua penjelasan yang dilontarkannya menutup rapat egoisme kecongkakan saya dan membukakan perlahan-lahan kesadaran batin yang telah lama diabaikan.

Ya Allah, saya mendapatkan satu untai mutiara melalui pertemuan ini. Saya ingin segera pulang dan mencari butir-butir mutiara lain yang masih berserak dan belum sempat saya kumpulkan.

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan AllahMahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah [2] :261). [Abdallah, Klab Santri Peduli]

Selengkapnya...

September 24, 2008

HAMPIRI AKU KEMBALI, RAMADHAN

Tanpa terasa, hari-hari menakjubkan di atas sajadah Ramadhan akan segera berlalu. Kaum muslim bersiap-siap melantunkan takbir dan tahmid seraya menyambut kemenangan Idul Fitri. Adakah alasan untuk tidak merayakannya secara suka cita?

Ramadhan adalah kesempatan mendulang barokah, ampunan, dan percikan kesucian untuk dijauhkan dari api neraka namun didekatkan pada taman surga. Secara syariat, puasa diartikan menahan makan, minum, dan “ibadah khusus” dengan suami atau istri, sesuai firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah. Pengertian itu membidik kendali fisik.

Perut yang kerap mengatur ritme pikiran dan hati diminta beristirahat mengumbar keinginannya. Karena, manusia kerap memburu untuk kebutuhan bagian itu dengan cara apa saja. Dalam artian, tidak lagi menimbang logika apalagi nurani. Apapun yang diinginkan harus didapat. Apapun yang terlihat didepan mata disikat. Sehingga, ketentuan Allah SWT yang disampaikan dalam Al Qur’an dan praktek-prakteknya nyata yang dicontohkan Rasulallah SAW bisa diabaikan.

Pada bagian itu, manusia telah mereinkarnasi perwujudan jiwanya seperti manusia purba. Yakni, manusia yang belum diperkaya akal dan budi, serta belum dilabeli fitrah khalifah. Dengan kata lain, tentu tidak ubahnya dengan hewan. Kebutuhan perut di atas segala-galanya. Dan, ia halal saja memperoleh kebutuhan lahiriah itu dengan cara semau-maunya. Tak peduli itu hak orang lain.

Saya teringat nasihat kuno yang disampaikan Cak Nun dalam “Jejak Tinju Pak Kiai”, Setiap butir nasi dan tetes air yang memasuki tenggorokanmu, perhatikan asal-usul kebenaran dan kebatilannya, posisi halal haramnya. Sebab engkau sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak-anak dan cucu-cucumu”.

Bagian berbahaya lain yang menjadi fokus pelatihan, utamanya adalah “saudara” seiman yang kerap tidak seamin di bawah perut. Untuk memenuhi hajat yang satu itu, betapa manusia juga kerap mengabaikan norma dan ketentuan agama. Bila ada kesempatan, maka untuk memenuhi hasrat hewani itu pun kudu dituntaskan selekas-lekasnya. Bagian ini, lagi-lagi, mengingatkan kita akan sifat dasar hewan yang tidak memiliki aturan.

Kedua hal itu merupakan simbol pemenuhan hawa nafsu manusia. Untuk memperoleh keduanya, semua sifat dan karakter manusia bisa bermunculan tanpa batas. Manusia bisa tidak mengenal lagi temannya, saudaranya, bahkan orangtuanya. Maka, puasa menjadi latihan pengendaliannya. Puasa menjadi kesempatan menempa perut dan “saudara” kita untuk bersabar dan bersyukur. Bersabar untuk menunggu kesempatan memenuhi hak sesuai waktunya. Tidak perlu tergesa-gesa, tetap di antrean, dan membiarkan manusia lain yang lebih berhak untuk mendapatkannya. Karena, Yang Mahasabar telah mengatur semuanya dengan sempurna.

Sedangkan, bersyukur atas kesempatan menikmati hakekat kehidupan dari Yang Mahasyukur. Bersyukur masih mendapatkan apa-apa yang menjadi hak kita. Bersyukur masih bisa menikmatinya dengan penuh keberkahan. Dan, bersyukur seantiasa mendapat kebaikan dan kenikmatanNya.

Bila persoalannya sekedar menahan makan, minum, dan “ibadah khusus” dengan lawan jenis, maka tuntas sudah ujian-ujian itu dilewati. Tapi, apakah sesederhana itu pemahamannya?

Memang iya, bila kenikmatan Ramadhan belum juga diraih.

Cobalah rasakan kedasyatan puasa, dengan lapar, haus, dan kendali gairahnya itu. Cobalah merancang Ramadhan sebagai momen dasyat, dengan senantiasa berkeinginan menyambutnya, menjalankan seluruh amaliyahnya, dan bertekad menjadikan bulan-bulan lain laksana Ramadhan. Puasa bukan hanya dijadikan ujian kendali fisik, tapi juga praktik mengendalikan hati dan pikiran.

Cobalah melihat lebih jelas keadaan di sekitar kita. Biarkan Ramadhan membimbing mata, pikiran, dan hati, untuk melihat keadaan di sekeliling kita dengan jujur. Adakah sesuatu yang belum kita perbuat terhadapnya? Bila tidak, maka Ramadhan harus membimbing tangan kita untuk menyentuhnya dan berbuat banyak. Kebajikan, maksudnya.

Cobalah merenung barang sebentar, untuk meneliti kembali adakah kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa yang masih diperbuat dengan perjalanan ibadah kita. Baik menyangkut amaliyah terhadap Yang Mahasuci, atau perbuatan-perbuatan nyata terhadap makhluk-makhluk ciptaanNya. Introspeksi ini mesti membuahkan catatan tentang kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki. Masih adakah manusia lain yang terzhalimi ulah kita? Masih adakah hak manusia lain yang terengut keserakahan kita? Masih adakah kebahagiaan yang belum disalurkan kepada manusia lain?

Cobalah tidak melulu memikirkan pahala atau ganjaran atas ibadah-ibadah nyata, seperti puasa, shalat fardhu, shalat tarawih, tadarus, dan amaliyah lain. Tapi, berpikir juga melakukan semua itu bukan atas dasar imbalan atau pamrih. Tapi, semata-mata kecintaan kepada Allah SWT. Termasuk juga dalam berbuat kebajikan kepada orang lain, yang tidak lagi berpikir tentang pujian dari sesama dan pahala dari Yang Mahamemberi. Lagi-lagi, semata-mata kecintaan kepada Allah SWT.

Buah dari nilai kesejatian Rukun Islam ke-4 itu, tidak lain ridha Allah. Hanya atas ridhaNyalah, kita benar-benar berharap untuk senantiasa dihampiri Ramadhan dan menjalani keindahan hari-harinya. Sekaligus menjadikan kita sebagai manusia yang wajib hadir di muka Bumi (sebagai khalifah), bukan manusia yang sunnah, makruh, apalagi haram.

Mohon maaf lahir batin. Selamat idul Fitri 1429 Hijriah.[]

Selengkapnya...

September 19, 2008

SYAICHON BERZAKAT

Syaichon berzakat, Syaichon dilaknat. Karena, pelaksanaan ibadahnya itu menewaskan 21 dhuafa dan puluhan lain luka-luka. Dan, seperti biasa, kecaman senantiasa bermunculan di saat sebuah amal mulia mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

Haji Syaichon Fikri bukanlah dermawan baru di kawasan Purworejo di kota Pasuruan, Jawa Timur. Saban tanggal 15 Ramadhan, ia merogoh koceknya dalam-dalam – setelah dihitung dengan hitungan syariat berzakat, tentunya – untuk disebarkan kepada kaum dhuafa di kawasan itu. Saban tahun, “jemaah”nya selalu bertambah. Tidak heran, karena ia juga memanfaatkan medium radio untuk mengabarkan “perjalanan ibadah”nya. Sehingga, warga dari kawasan lain ikut berduyun-duyun mengantre seraya menadahkan tangan.

Di lingkungan rumahnya, sang juragan aneka kulit hewan ternak itu juga memiliki nama harum. Tempat ibadah di lingkungannya pun tak luput dari sentuhan tangan emas Syaichon. Walhasil, warga di tempat itu merasakan sekali keberkahan rezeki Syaichon (Insya Allah). Bahkan, warga juga tidak pernah protes soal penutupan gang untuk kegiatan-kegiatan sosial pak Haji.

“Ia orang yang baik, karena sering mendermakan hartanya kepada warga lain,” kata M. Shaleh Riyanto, Ketua RT di lingkungan rumahnya.

Peristiwa tewasnya 21 warga dhuafa dan puluhan luka membangun persepsi baru soal sosok Syaichon. Kecaman datang bertubi-tubi dari berbagai pejabat daerah dan kaum muslim lain. Ungkapan keprihatinan berseliweran tanpa arah pasti. Akhirnya, polemik-polemik itu hanya membuat bingung; siapakah yang salah dalam kasus itu? Mestikah orang yang menjalankan amaliyah dituding salah?

Pelaksanaan Rukun Islam Ketiga, berzakat, disandarkan pada firman Allah SWT yang memerintahkan kaum muslim untuk “mendirikan shalat dan membayarkan zakat”. Meski berada dalam satu kalimat, praktik kedua amaliyah itu berbeda jauh.

Shalat hanya membutuhkan niat, tenaga, waktu, tempat, kesungguhan, dan keikhlasan. Siapa pun bisa melaksanakannya. Karena, kesemuanya persyaratan itu bersifat non-materi (selain tempat). Namun, masalah tempat juga bukan perkara sulit. Selain mushalla dan masjid telah tersebar di mana-mana, ibadah itu juga boleh dilakukan di tempat bersih mana pun.

Niat menjadi modal pertama, karena ia merupakan salah satu rukun shalat. Tanpa niat, shalat seseorang tidak akan sah. Dengan niat, seseorang akan mempersiapkan seluruh kebutuhan ibadah itu dengan keikhlasan. Dengan niat, seseorang akan mendapat ganjaran atas amaliyahnya. Karena tidak sedikit, seseorang mendirikan shalat karena pamrih tertentu. Ada yang karena orang lain – maksudnya, biar dianggap sekaum, dekat dengan seseorang yang dituju, atau dipuji sebagai orang saleh – dan tentu saja, ada yang semata-mata karena Allah SWT.

Dengan pamrih-pamrih itu, sang muslim bisa ditakar kadar keimanan dan keikhlasannya. Sehingga, saya memasukkan poin keikhlasan, dalam pengamalan ibadah itu. Dengan shalat yang didasarkan orang lain sama saja dengan shalat tanpa keikhlasan. Motifnya, dari sekedar ikutan-ikutan hingga ingin mendulang riya (sikap ingin dipuji melalui ketekunan beribadah). Pada akhirnya, shalat semacam itu tak lebih dari upaya menduakan Yang Mahamandiri dan menuhankan orang-orang yang ditujunya.

Shalat memang dekat dengan riya. Riya sangat dekat dengan ketidakikhlasan. KetIdakikhlasan dekat dengan pamrih. Pamrih dekat dengan kesia-siaan ibadah itu sendiri. Masih untung bila tidak termasuk dalam syirik (menduakan Yang Mahasatu).

Sebaliknya, shalat dengan keikhlasan akan membuatkan kenikmatan nan tiada tara bagi sang muslim. Ia tidak pernah merasakannnya sebagai beban, tuntutan, apalagi paksaan, atau pengaruh-pengaruh manusia. Semua semata-mata karena ridha Allah. Semua karena kecintaan karena Allah. Shalat menjadi pertemuan yang mengasyikkan antara kawula dan Gusti, hamba dan Pencipta dan Pemilik hamba. Kedasyatan itu yang disebut-sebut sebagai “shalatnya kaum mukmin itu ma’rifat”.

Sedangkan zakat, selain membutuhkan niat, tenaga, waktu, tempat, kesungguhan, dan keikhlasan, juga membutuhkan harta dan mustahik (penerima zakat). Poin terakhir itulah target pelaksanaan berzakat. Tanpa berharta, apa juga yang akan dizakatkan? Tanpa mustahik, siapa juga target amaliyah itu?

Dalam berzakat, niat juga menjadi modal pertama. Kalaupun memiliki harta yang sangat memadai dan perlu dizakatkan, bila tidak ada niat, tidak mungkin jalan. Niat jadi syarat utama. Dengan niat, sang muslim akan menghitung dengan benar bagian-bagian para mustahik yang harus dikeluarkan, serta tenaga, waktu, tempat, kesungguhan, dan keikhlasannya. Bila niat itu tanpa kesungguhan, maka cara berhitungnya pun jadi tidak akurat. Sekedar mengeluarkan, maksudnya. Selain itu, penyalurannya pun jadi tidak terkoordinir, asal-asalan, dan sembrono. Wujud yang tampak, ketidakikhlasan.

Soal niat juga menentukan kadar keimanan dan keikhlasannya. Zakat adalah ibadah yang sangat dekat dengan hubbul jah (keinginan untuk dipuji secara duniawi) dan riya (keinginan untuk dipuji secara amaliyah). Karena niat untuk memperoleh pujian dan pamor membuat pelaksanaannya cenderung terbuka dan dekat dengan publisitas. Ia akan merancang acara itu besar-besaran, tanpa berpikir dampak dan manfaat ibadah itu sendiri. Para mustahik adalah komoditas menggiurkan untuk membangun citra diri.

Dengan latar belakang semacam itu, amaliyah itu memang jauh dari ikhlas. Bahkan, kebanggaan yang berlebihan akan mengarahkan menciptakan Fir’aun-Fir’aun baru. Tuhan-tuhan kecil yang seolah bisa mengatur rezeki orang lain. Dampak kejiwaannya memang jauh lebih dasyat ketimbang shalat yang tidak ikhlas.

Sebaliknya, bila ibadah itu dijalankan dengan keikhlasan, tidak mustahil akan benar-benar membantu para mustahik dari kemiskinan. Sehingga, ia jadi makin bersemangat dari menarik satu demi satu kaum dhuafa dari lembah kehinaan menuju puncak kemualiaan. Sehingga pula, kemiskinan terkikis habis dan dana zakat itu bisa digulirkan untuk hal-hal lain di luar membantu kaum miskin.

Haji Syaichon Fikri bukanlah kasus pertama, berzakat secara kolosal dan menelan korban jiwa. Hampir saban tahun, berbagai media massa memberitakan para muzaki yang berlomba-lomba ber”fastabikul khoirot” dan para mustahik yang berduyun-duyun membentuk antrean panjang seraya menadahkan tangannya.

Makin maraknya para muzaki dengan kedermawanannya adalah fenomena kecil. Sedangkan terus membludaknya para mustahik dengan kepapaannya adalah fenomena besar. Betapa ketidakseimbangan antara kedermawanan dan kepapaan menjadi simfoni nan indah di negeri ini. Ironisnya, alunan nada-nadanya yang melankolis terus saja kita nikmati dengan nyaman.

Pemerintah dan lembaga-lembaga zakat memiliki konsep yang matang soal pengumpulan dan penyaluran zakat. Namun, para dermawan juga memiliki kenikmatan tersendiri, bila ia menyalurkan hartanya kepada kaum dhuafa melalui tangannnya sendiri. Sementara, para mustahik juga memiliki kebahagiaan tersendiri dengan perjuangan mendapat “jatah” yang relatif tak seberapa. Jumlah yang didapat biasanya tak lebih besar dari ongkos zakat fitrah. Sehingga, jangan salahkan bila ketidaksingkronan dua fenomena itu terus berdampingan. Karena, keduanya memang akur-akur saja.

Apakah kita harus berharap kepada para dermawan meniru perbuatan para sahabat nabi yang harus bergerilya untuk membagikan sedekahnya? Atau, apa kita harus berharap kepada para muzaki untuk mempercayakan hartanya kepada lembaga-lembaga zakat atau pemerintah? Atau, apa kita harus berharap kepada para mustahik untuk menghentikan hobbi mengantre sambil menadahkan tangannya? Atau, apa kita harus berharap para mustahik menumbuhkan “urat malu”nya sebagai peminta-minta?

Begitu banyak pertanyaan yang harus kita jawab dengan perenungan yang matang. Begitu banyak keinginan yang ingin dilakukan, tapi tanpa dibarengi keikhlasan. Semuanya, lantaran sebagian besar terfokus pada pesan “hablum minanas” tapi mengabaikan premis utama “hamblum minallah”. Sehingga, tiba-tiba kita jadi terbiasa untuk bingung menentukan prioritas; karena Allah atau karena manusia? Mestikah, ketika syahadat dikumandangkan masih ada sesuatu lain di dalam pikiran dan hati kita selainNya?

Saya jadi teringat pesan barokah ulama tempo doeloe, Abu Thalib Al-Makki dalam “The Secret of Ikhlas”, tentang paduan keinginan (iradah) dan cinta (mahabbah) di setiap langkah kehidupan kita. Intinya, setiap keinginan (maksudnya, niat) idealnya didasarkan cinta (kepada Allah SWT, tentunya). Terlebih lagi menyangkut amalaiyah, shalat atau zakat. Paduan kedua faktor itu merupakan syarat kesempurnaan untuk melintasi hambatan dalam pelaksanaan dan perolehan manfaat di hari akhir.

Meski begitu, Haji Syaichon Fikri harus menjadi inspirasi bagi siapa pun untuk terus menggelorakan semangat berzakat dan melaksanakan amaliyah lain. Lepas dari penilaian keikhlasan dan nilai-nilai tasawuf dalam pelaksanaan ibadah itu, sesungguhnya Syaichon tengah mengajarkan kita untuk melaksanakan Rukun Islam ke-3 itu dengan penuh suka cita. Ia juga mendidik kita untuk “menyampaikan firman Allah SWT atau hadits Rasulallah SAW meski seayat” dengan perbuatan nyata. Sehingga, singkirkan prasangka buruk soal hubbul jah atau riya atas rutinitas tahunannya itu.

Karena, meski siapa pun tahu dan sadar bahwa kemiskinan ada di mana-mana, tapi berapa banyak kaum muslim yang tergerak hatinya untuk berzakat secara istiqomah (terlebih lagi tanpa gembar-gembor). Jangan sampai pepatah “tangan kanan memberi dan tangan kiri bersembunyi” justru menjadi alasan untuk tidak mengamalkan kewajiban itu. Cobalah menyimak situasi terakhir negeri ini, yang tengah sibuk menayangkan iklan “citra diri” para politisi dan calon presiden. Hitunglah, berapa banyak dana yang dirogoh dari kocek mereka? Kalau saja, mereka mengikuti jejak Syaichon, berapa banyak kaum dhuafa ikhlas mengatre untuk mendapatkannya.

Peristiwa tragis di rumahnya pun harus menjadi inspirasi bagi siapa pun untuk segera sadar, kemiskinan memang nyata ada di depan mata. Angka-angka statistik lembaga apa pun tidak akan menjangkau dengan benar kenyataan di lapangan. Meski program Bantuan Langsung Tunai digulirkan, harga-harga terlalu tinggi melonjak dan terus mencekik para fakir miskin. Sehingga, tokoh seperti Syaichon menjadi oase bagi mereka.

Akhir kata, mestikah kecaman dihantamkan bertubi-tubi kepada keluarga Haji Syaichon Fikri yang “terpeleset” dalam teknis pelaksanaan amaliyah itu? Kenapa juga kecaman atau caci-maki tidak dihantarkan kepada para “muzaki” yang tetap menyimpan hartanya di dalam brangkas? Ibarat dua muslim yang meributkan kilafiyah membaca doa qunut pada waktu shalat subuh. Yang satu bilang, perlu dilakukan. Sedangkan, yang satunya menilai, bid’ah. Padahal, siapapun tahu, yang salah adalah kaum muslim yang tidak melaksanakan shalat subuh (dengan atau tanpa doa qunut)![]

Selengkapnya...

Agustus 28, 2008

PUJIAN HANYA UNTUK AL HAMID

Al-Miqdad meriwayatkan sebuah hadits, Rasulallah SAW bersabda, "Taburilah wajah orang-orang yang suka memuji dengan debu."

Hadits itu menyindir orang-orang yang kerap bersikap berlebihan di depan orang lain. Entah atasan, teman yang derajat dan status sosialnya lebih tinggi, atau sosok yang tengah dibutuhkan bantuannya. Konteks pujian terhadap atasan (baca: menjilat) sudah pasti dibidik sabda Rasulallah SAW itu.

Imam Al-Ghazali dalam "Makatib Al-Ghazali" mengeluhkan keadaan yang menyedihkan pada masa pemerintahan Perdana meteri Hasan bin Nizam Al-Muluk Al-Thusi. Yakni, suatu keadaan di mana penderitaan dan jeritan warga miskin tidak lagi didengar. Para penguasa lebih asyik mengutak-atik matematika politik, berpikir hari ini kedudukan dan kekuasaan apa yang bisa diraih. Orang-orang tak berpunya mencurahkan segala daya justru untuk membiayai para pejabat negara. Sementara segala fasilitas yang hakikatnya bersumber dari rakyat begitu mudah diselewengkan.

Al-Ghazali mempertanyakan: akan pernahkan ada kedamaian di atas bumi, selagi orang-orang miskin bekerja untuk memberi makan orang-orang yang kuat dan menyumpal perut para tiran? Akan pernahkah kedamaian datang menyelamatkan mereka dari cengkeraman kelaparan?

Sejarah telah memberi pelajaran kepada kita akibat buruk yang mendera, manakala manusia memuji-muji penguasa secara salah.

Cerita Imam Al-Ghazali makin mempertajam pandangan kita pada dampak pujian-pujian yang diberikan secara berlebihan kepada orang (atasan). Karena, ada pamrih yang harus dibayar. Ada social-cost yang harus dibebankan. Pada akhirnya, orang-orang kecil, rakyat jelata atau bawahan, menjadi korban pertama.

Lebih jauh, sadarilah dan resapi makna di balik hadits dan surat Al-Ghazali tadi. Bahwasannya, pujian hanyalah untuk Allah SWT. Karena, Ialah sebab-akibat kehidupan ini. Tidak ada kekuatan atau kekuasaan selainNya. Atasan atau manusia hanyalah perantara. Tapi, keputusan tetap ada di tangan Yang Mahamengatur. Perlakukan manusia sebagai manusia. Jangan dituhankan. Karena, arahnya adalah kesyirikan. Ingatlah, Ia tidak suka diduakan. Maka, pujilah namaNya dan kebesaranNya.[]
Selengkapnya...

Juli 22, 2008

SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI: SYIRIK

“Anakku, engkau belum apa-apa. Islammu belum sah. Engkau mengucapkan ‘Tiada Tuhan selain Allah’ tetapi mendustakannya; Dalam hatimu masih terdapat sejumlah tuhan: rasa takutku kepada penguasa dan pemimpinmu berarti mempertuhankan mereka, kebersandaranmu pada usaha, kekuatan, dan kekuasaanmu berarti mempertuhankan itu semua, sikap riyamu untuk menarik manfaat dan menolak mudarat serta mengharap pemberian dan penolakan makhluk, berarti mempertuhankan mereka.

Bagaimana mungkin engkau mengatakan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, sementara di hatimu terdapat banyak tuhan. Intinya, segala sesuatu selain Allah yang menjadi sandaran dan perlindunganmu adalah berhalamu. Tauhid hanya pada ucapan tidak akan berarti apa-apa, jika disertai dengan syirik dalam hati.

Tinggalkanlah kemusyrikan! Bertauhidlah kepada Allah! Dialah Pencipta segala sesuatu. Tidaklah berakal peminta segala sesuatu kepada selainNya.”

Lebih jauh, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani membagi syirik menjadi dua; syirik lahir (dhahir) dan syirik batin (khofi). Syirik lahir ialah menyembah berhala – animisme dan sinkretisme. Sedangkan syirik batin ialah bergantung pada makhluk serta riya dalam kebaikan dan keburukan.[]

(Syakh Abdul Qadir Al-Jailani, “The Wisdom of Abdul Qadir Al-Jailani”, Penerbit Serambi, 2008).

Selengkapnya...

Juli 04, 2008

MARHABAN, YA RAJAB

Memasuki Rajab 1429 Hijriah ini, saya mendapat email berharga dari seorang sahabat. Inti pesannya adalah kemuliaan Rajab dan ajakan untuk bershaum. Subhanallah. Berikut ini, petikan pesan-pesan itu.

Diriwayatkan, Rasulullah SAW telah bersabda, "Ketahuilah bahwa bulan Rajab itu adalah Bulan Allah, maka barang siapa berpuasa satu hari di bulan itu dengan ikhlas, maka pasti ia mendapat keridhaan yang besar dari Allah SWT; barang siapa berpuasa pada tanggal 27 Rajab akan mendapat pahala seperti lima tahun berpuasa; barang siapa berpuasa dua hari di bulan Rajab akan mendapat kemuliaan di sisi Allah SW; barang siapa berpuasa tiga hari, yaitu pada tanggal 1, 2, dan 3 Rajab, maka Allah akan memberikan pahala seperti 900 tahun berpuasa dan menyelamatkannya dari bahaya dunia dan siksa akhirat; barang siapa berpuasa lima hari di bulan itu, Insya Allah permintaannya akan dikabulkan; barang siapa berpuasa tujuh hari di bulan Rajab, maka ditutupkan tujuh pintu neraka jahanam; barang siapa berpuasa delapan hari di bulan Rajab, maka akan dibukakan delapan pintu surga; barang siapa berpuasa lima belas hari di bulan Rajab, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan mengganti semua kejahatannya dengan kebaikan; dan barang siapa menambah hari-hari puasanya di bulan Rajab, maka Allah akan menambahkan pahalanya." Rasullah SAW juga bersabda, "Pada malam mi'raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu, dan lebih harum dari minyak wangi. Lalu aku bertanya pada Jibril AS, ‘Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini?’

Jibril AS menjawab, ‘Ya Muhammad, sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajabi.’ “

Dalam sebuah riwayat Tsauban bercerita, "Ketika kami berjalan bersama Rasulullah SAW ke sebuah kubur, lalu Rasulullah berhenti dan beliau menangis dengan amat sedih. Kemudian beliau berdoa kepada Allah SWT.

Lalu saya bertanya kepada beliau, ‘Ya Rasulullah mengapakah engkau menangis?’

Beliau SAW menjawab, ‘Wahai Tsauban, mereka itu sedang disiksa dalam kubur nya, dan saya berdoa kepada Allah. Lalu, meringankan siksa atas mereka. Wahai Tsauban, kalaulah sekiranya mereka ini mau berpuasa satu hari dan beribadah satu malam saja di bulan Rajab niscaya mereka tidak akan disiksa di dalam kubur.’ Tsauban bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah hanya berpuasa satu hari dan beribadah satu malam dalam bulan Rajab sudah dapat mengelakkan dari siksa kubur?’

Beliau SAW menjawab, ‘Wahai Tsauban, demi Allah, Dzat yang telah mengutusku sebagai nabi, tiada seorang muslim lelaki dan perempuan yang berpuasa satu hari dan mengerjakan shalat malam sekali di bulan Rajab dengan niat karena Allah, kecuali Allah mencatatkan baginya seperti berpuasa satu tahun dan mengerjakan shalat malam satu tahun. Sesungguhnya Rajab adalah bulan Allah, Sya'ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku. Semua manusia akan berada dalam keadaan lapar pada hari kiamat, kecuali para nabi, keluarga nabi, dan orang-orang yang berpuasa pada bulan Rajab, Sya'ban, dan Ramadhan. Maka sesungguhnya mereka kenyang, serta tidak akan merasa lapar dan haus bagi mereka.’”

Beberapa saat kemudian, ustadz saya mengirimkan pesan pendek melalui ponsel berisikan ajakan berzikir ba’da shalat maghrib, Subhanallahil hayyul qoyyum” sebanyak seratus kali pada 1-10 Rajab. Sedangkan pada 11-20 Rajab, ustadz saya mengamanahkan untuk berzikir, "Subhanallahi ahadish shomad" sebanyak seratus kali. Lalu, pada 21-30 Rajab, ustadz saya mengamanahkan untuk berzikir ba'da shalat maghrib, "Subhanallahi rouf" juga sebanyak seratus kali. Setelah menzikirkan kalimat puji-pujian itu, kita membaca doa, “Allahumma baariklana fi rojaba wasyakbaana waballigna romadhon” sebanyak tiga kali.[]

Selengkapnya...

Juli 03, 2008

SHALAT MALAM BERSAMA RASULALLAH

Salah satu praktik shalat malam Rasulallah Saw:

• Empat kali shalat sunnah dua rakaat (matsna-matsna), berarti delapan rakaat.

Shalat syafa’ dua rakaat; rakaat pertama membaca Surat Al Fatihah dan Surat Al Kafirun, dan rakaat kedua membaca Surat Al Fatihah dan Surat Al Ikhlas.

Shalat witir satu rakaat dengan membaca Surat Al Fatihah, Surat Al Falaq, Surat An Nas, istighfar 70 kali (astaghfirullaha rabbi wa atubi ilayh – aku memohon ampun kepada Allah Tuhanku dan kembali kepadaNya), membaca doa “hadza maqamul ‘aidzi bika minannar – Ya Allah, inilah saya yang berlindung kepadaMu dari api neraka” sebanyak 7 kali, mohonkan ampunan bagi sedikitnya 40 muslimin/muslimat (robbighfir li… wa…, seterusnya) dan berdoa apa saja, lalu ruku, i’tidal, sujud, tasyahud, dan seterusnya.

(Sumber: Jalaluddin Rakhmat, “Membuka Tirai Kegaiban – Renungan-Renungan Sufistik”, Bandung, Mizan, 2008)

Selengkapnya...