September 19, 2008

SYAICHON BERZAKAT

Syaichon berzakat, Syaichon dilaknat. Karena, pelaksanaan ibadahnya itu menewaskan 21 dhuafa dan puluhan lain luka-luka. Dan, seperti biasa, kecaman senantiasa bermunculan di saat sebuah amal mulia mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

Haji Syaichon Fikri bukanlah dermawan baru di kawasan Purworejo di kota Pasuruan, Jawa Timur. Saban tanggal 15 Ramadhan, ia merogoh koceknya dalam-dalam – setelah dihitung dengan hitungan syariat berzakat, tentunya – untuk disebarkan kepada kaum dhuafa di kawasan itu. Saban tahun, “jemaah”nya selalu bertambah. Tidak heran, karena ia juga memanfaatkan medium radio untuk mengabarkan “perjalanan ibadah”nya. Sehingga, warga dari kawasan lain ikut berduyun-duyun mengantre seraya menadahkan tangan.

Di lingkungan rumahnya, sang juragan aneka kulit hewan ternak itu juga memiliki nama harum. Tempat ibadah di lingkungannya pun tak luput dari sentuhan tangan emas Syaichon. Walhasil, warga di tempat itu merasakan sekali keberkahan rezeki Syaichon (Insya Allah). Bahkan, warga juga tidak pernah protes soal penutupan gang untuk kegiatan-kegiatan sosial pak Haji.

“Ia orang yang baik, karena sering mendermakan hartanya kepada warga lain,” kata M. Shaleh Riyanto, Ketua RT di lingkungan rumahnya.

Peristiwa tewasnya 21 warga dhuafa dan puluhan luka membangun persepsi baru soal sosok Syaichon. Kecaman datang bertubi-tubi dari berbagai pejabat daerah dan kaum muslim lain. Ungkapan keprihatinan berseliweran tanpa arah pasti. Akhirnya, polemik-polemik itu hanya membuat bingung; siapakah yang salah dalam kasus itu? Mestikah orang yang menjalankan amaliyah dituding salah?

Pelaksanaan Rukun Islam Ketiga, berzakat, disandarkan pada firman Allah SWT yang memerintahkan kaum muslim untuk “mendirikan shalat dan membayarkan zakat”. Meski berada dalam satu kalimat, praktik kedua amaliyah itu berbeda jauh.

Shalat hanya membutuhkan niat, tenaga, waktu, tempat, kesungguhan, dan keikhlasan. Siapa pun bisa melaksanakannya. Karena, kesemuanya persyaratan itu bersifat non-materi (selain tempat). Namun, masalah tempat juga bukan perkara sulit. Selain mushalla dan masjid telah tersebar di mana-mana, ibadah itu juga boleh dilakukan di tempat bersih mana pun.

Niat menjadi modal pertama, karena ia merupakan salah satu rukun shalat. Tanpa niat, shalat seseorang tidak akan sah. Dengan niat, seseorang akan mempersiapkan seluruh kebutuhan ibadah itu dengan keikhlasan. Dengan niat, seseorang akan mendapat ganjaran atas amaliyahnya. Karena tidak sedikit, seseorang mendirikan shalat karena pamrih tertentu. Ada yang karena orang lain – maksudnya, biar dianggap sekaum, dekat dengan seseorang yang dituju, atau dipuji sebagai orang saleh – dan tentu saja, ada yang semata-mata karena Allah SWT.

Dengan pamrih-pamrih itu, sang muslim bisa ditakar kadar keimanan dan keikhlasannya. Sehingga, saya memasukkan poin keikhlasan, dalam pengamalan ibadah itu. Dengan shalat yang didasarkan orang lain sama saja dengan shalat tanpa keikhlasan. Motifnya, dari sekedar ikutan-ikutan hingga ingin mendulang riya (sikap ingin dipuji melalui ketekunan beribadah). Pada akhirnya, shalat semacam itu tak lebih dari upaya menduakan Yang Mahamandiri dan menuhankan orang-orang yang ditujunya.

Shalat memang dekat dengan riya. Riya sangat dekat dengan ketidakikhlasan. KetIdakikhlasan dekat dengan pamrih. Pamrih dekat dengan kesia-siaan ibadah itu sendiri. Masih untung bila tidak termasuk dalam syirik (menduakan Yang Mahasatu).

Sebaliknya, shalat dengan keikhlasan akan membuatkan kenikmatan nan tiada tara bagi sang muslim. Ia tidak pernah merasakannnya sebagai beban, tuntutan, apalagi paksaan, atau pengaruh-pengaruh manusia. Semua semata-mata karena ridha Allah. Semua karena kecintaan karena Allah. Shalat menjadi pertemuan yang mengasyikkan antara kawula dan Gusti, hamba dan Pencipta dan Pemilik hamba. Kedasyatan itu yang disebut-sebut sebagai “shalatnya kaum mukmin itu ma’rifat”.

Sedangkan zakat, selain membutuhkan niat, tenaga, waktu, tempat, kesungguhan, dan keikhlasan, juga membutuhkan harta dan mustahik (penerima zakat). Poin terakhir itulah target pelaksanaan berzakat. Tanpa berharta, apa juga yang akan dizakatkan? Tanpa mustahik, siapa juga target amaliyah itu?

Dalam berzakat, niat juga menjadi modal pertama. Kalaupun memiliki harta yang sangat memadai dan perlu dizakatkan, bila tidak ada niat, tidak mungkin jalan. Niat jadi syarat utama. Dengan niat, sang muslim akan menghitung dengan benar bagian-bagian para mustahik yang harus dikeluarkan, serta tenaga, waktu, tempat, kesungguhan, dan keikhlasannya. Bila niat itu tanpa kesungguhan, maka cara berhitungnya pun jadi tidak akurat. Sekedar mengeluarkan, maksudnya. Selain itu, penyalurannya pun jadi tidak terkoordinir, asal-asalan, dan sembrono. Wujud yang tampak, ketidakikhlasan.

Soal niat juga menentukan kadar keimanan dan keikhlasannya. Zakat adalah ibadah yang sangat dekat dengan hubbul jah (keinginan untuk dipuji secara duniawi) dan riya (keinginan untuk dipuji secara amaliyah). Karena niat untuk memperoleh pujian dan pamor membuat pelaksanaannya cenderung terbuka dan dekat dengan publisitas. Ia akan merancang acara itu besar-besaran, tanpa berpikir dampak dan manfaat ibadah itu sendiri. Para mustahik adalah komoditas menggiurkan untuk membangun citra diri.

Dengan latar belakang semacam itu, amaliyah itu memang jauh dari ikhlas. Bahkan, kebanggaan yang berlebihan akan mengarahkan menciptakan Fir’aun-Fir’aun baru. Tuhan-tuhan kecil yang seolah bisa mengatur rezeki orang lain. Dampak kejiwaannya memang jauh lebih dasyat ketimbang shalat yang tidak ikhlas.

Sebaliknya, bila ibadah itu dijalankan dengan keikhlasan, tidak mustahil akan benar-benar membantu para mustahik dari kemiskinan. Sehingga, ia jadi makin bersemangat dari menarik satu demi satu kaum dhuafa dari lembah kehinaan menuju puncak kemualiaan. Sehingga pula, kemiskinan terkikis habis dan dana zakat itu bisa digulirkan untuk hal-hal lain di luar membantu kaum miskin.

Haji Syaichon Fikri bukanlah kasus pertama, berzakat secara kolosal dan menelan korban jiwa. Hampir saban tahun, berbagai media massa memberitakan para muzaki yang berlomba-lomba ber”fastabikul khoirot” dan para mustahik yang berduyun-duyun membentuk antrean panjang seraya menadahkan tangannya.

Makin maraknya para muzaki dengan kedermawanannya adalah fenomena kecil. Sedangkan terus membludaknya para mustahik dengan kepapaannya adalah fenomena besar. Betapa ketidakseimbangan antara kedermawanan dan kepapaan menjadi simfoni nan indah di negeri ini. Ironisnya, alunan nada-nadanya yang melankolis terus saja kita nikmati dengan nyaman.

Pemerintah dan lembaga-lembaga zakat memiliki konsep yang matang soal pengumpulan dan penyaluran zakat. Namun, para dermawan juga memiliki kenikmatan tersendiri, bila ia menyalurkan hartanya kepada kaum dhuafa melalui tangannnya sendiri. Sementara, para mustahik juga memiliki kebahagiaan tersendiri dengan perjuangan mendapat “jatah” yang relatif tak seberapa. Jumlah yang didapat biasanya tak lebih besar dari ongkos zakat fitrah. Sehingga, jangan salahkan bila ketidaksingkronan dua fenomena itu terus berdampingan. Karena, keduanya memang akur-akur saja.

Apakah kita harus berharap kepada para dermawan meniru perbuatan para sahabat nabi yang harus bergerilya untuk membagikan sedekahnya? Atau, apa kita harus berharap kepada para muzaki untuk mempercayakan hartanya kepada lembaga-lembaga zakat atau pemerintah? Atau, apa kita harus berharap kepada para mustahik untuk menghentikan hobbi mengantre sambil menadahkan tangannya? Atau, apa kita harus berharap para mustahik menumbuhkan “urat malu”nya sebagai peminta-minta?

Begitu banyak pertanyaan yang harus kita jawab dengan perenungan yang matang. Begitu banyak keinginan yang ingin dilakukan, tapi tanpa dibarengi keikhlasan. Semuanya, lantaran sebagian besar terfokus pada pesan “hablum minanas” tapi mengabaikan premis utama “hamblum minallah”. Sehingga, tiba-tiba kita jadi terbiasa untuk bingung menentukan prioritas; karena Allah atau karena manusia? Mestikah, ketika syahadat dikumandangkan masih ada sesuatu lain di dalam pikiran dan hati kita selainNya?

Saya jadi teringat pesan barokah ulama tempo doeloe, Abu Thalib Al-Makki dalam “The Secret of Ikhlas”, tentang paduan keinginan (iradah) dan cinta (mahabbah) di setiap langkah kehidupan kita. Intinya, setiap keinginan (maksudnya, niat) idealnya didasarkan cinta (kepada Allah SWT, tentunya). Terlebih lagi menyangkut amalaiyah, shalat atau zakat. Paduan kedua faktor itu merupakan syarat kesempurnaan untuk melintasi hambatan dalam pelaksanaan dan perolehan manfaat di hari akhir.

Meski begitu, Haji Syaichon Fikri harus menjadi inspirasi bagi siapa pun untuk terus menggelorakan semangat berzakat dan melaksanakan amaliyah lain. Lepas dari penilaian keikhlasan dan nilai-nilai tasawuf dalam pelaksanaan ibadah itu, sesungguhnya Syaichon tengah mengajarkan kita untuk melaksanakan Rukun Islam ke-3 itu dengan penuh suka cita. Ia juga mendidik kita untuk “menyampaikan firman Allah SWT atau hadits Rasulallah SAW meski seayat” dengan perbuatan nyata. Sehingga, singkirkan prasangka buruk soal hubbul jah atau riya atas rutinitas tahunannya itu.

Karena, meski siapa pun tahu dan sadar bahwa kemiskinan ada di mana-mana, tapi berapa banyak kaum muslim yang tergerak hatinya untuk berzakat secara istiqomah (terlebih lagi tanpa gembar-gembor). Jangan sampai pepatah “tangan kanan memberi dan tangan kiri bersembunyi” justru menjadi alasan untuk tidak mengamalkan kewajiban itu. Cobalah menyimak situasi terakhir negeri ini, yang tengah sibuk menayangkan iklan “citra diri” para politisi dan calon presiden. Hitunglah, berapa banyak dana yang dirogoh dari kocek mereka? Kalau saja, mereka mengikuti jejak Syaichon, berapa banyak kaum dhuafa ikhlas mengatre untuk mendapatkannya.

Peristiwa tragis di rumahnya pun harus menjadi inspirasi bagi siapa pun untuk segera sadar, kemiskinan memang nyata ada di depan mata. Angka-angka statistik lembaga apa pun tidak akan menjangkau dengan benar kenyataan di lapangan. Meski program Bantuan Langsung Tunai digulirkan, harga-harga terlalu tinggi melonjak dan terus mencekik para fakir miskin. Sehingga, tokoh seperti Syaichon menjadi oase bagi mereka.

Akhir kata, mestikah kecaman dihantamkan bertubi-tubi kepada keluarga Haji Syaichon Fikri yang “terpeleset” dalam teknis pelaksanaan amaliyah itu? Kenapa juga kecaman atau caci-maki tidak dihantarkan kepada para “muzaki” yang tetap menyimpan hartanya di dalam brangkas? Ibarat dua muslim yang meributkan kilafiyah membaca doa qunut pada waktu shalat subuh. Yang satu bilang, perlu dilakukan. Sedangkan, yang satunya menilai, bid’ah. Padahal, siapapun tahu, yang salah adalah kaum muslim yang tidak melaksanakan shalat subuh (dengan atau tanpa doa qunut)![]

Tidak ada komentar: