Januari 11, 2009

LOMPATAN KSATRIA KATAK

Cerita tentang Ksatria Katak saya dapat dari mantan Imamu Masjid Kraton Benteng Wolio di Pulau Buton dua tahun yang silam. Pada masa Kesultanan Kesultanan Butuni, Imamu Masjid memiliki peran sentral dalam bidang spiritual. Ia merupakan sultan kedua di organisasi itu dengan julukan Sultan Batin. Dan, di tingkat spiritualnya, ia diyakini bukan sekedar ahli tarekat atau hakekat, tapi ahli ma’rifat!

Namun, saya tidak akan berpanjang-panjang dengan cerita kejayaan dan era emas Imamu Masjid di masa silam. Karena, hanya akan menyita berlembar-lembar halaman dan konteksnya belum cukup penting untuk diungkap. Dan, saya lebih tertarik mengingat kembali amsal atau pemisalan yang diungkap sang mantan Imamu Masjid tentang Ksatria Katak.

Tuturnya, dalam setiap ruang kehidupan terdapat banyak tokoh dan karakter. Kalau mau merenung sedikit saja, kita segera sadar, karakter dari setiap tokoh itu sebenarnya merupakan penampakan dari karakter hewan-hewan di hutan luas. Artinya, setiap manusia menyimpan potensi kehewanan. Selain itu, aksi-aksi yang diperlihatkan manusia di kehidupan nyata pun tak ubahnya aksi-aksi hewan-hewan di Kerajaan Rimba.

Lantas, ia pun mengenalkan saya pada tokoh Kstaria Katak di Kerajaan Rimba itu. Meski sekedar katak, menurutnya, hewan itu memiliki kegemilangan yang tak seburuk rupa dan bentuknya. Karena, ia memiliki lompatan-lompatan yang melebihi kecepatan, kecerdasan, dan kesetiaan hewan lain. Berkat kelebihannya itulah ia terkenal dengan jargon “lompatan Ksatria Katak”.

Lahirnya jargon itu, karena ia memiliki hasil kerja, prestasi, atau rekor, yang di atas rata-rata. Bahkan, ia sanggup berbuat sesuatu melebihi kapasitasnya atau kstaria-ksatria yang lebih tinggi kastanya. Problemnya, sang Ksatria Katak terlalu asyik dengan tanggung jawab dan peraihan hasil maksimal atas kerjanya. Namun, ia malas berkoordinasi atau melaporkan hasil kerja di setiap tahapan-tahapan. Sehingga, ia sering dianggap berjalan dalam dunianya sendiri dan lepas kendali. Akibat “cacad” itu, lompatan sang Kstaria tidak pernah dihitung atau diapresiasi. Karena, Kerajaan Rimba lebih mengakomodir para ksatria yang rajin melapor, bekerja sesuai trek, dan pintar membuka peluang untuk dekat dengan pengendali sistem.

Meskipun begitu, sang Kstaria Katak akan terus bekerja sesuai amanat Raja. Karena, sesungguhnya ia tidak membutuhkan pujian dan sanjungan, selain membuat lompatan demi lompatan untuk kejayaan Kerajaan Rimba. Bahkan, ia juga tidak peduli ketika ia ditempatkan sebagai Ronin – Ksatria Samurai tanpa tuan dalam mitos Jepang – lantaran kalah pintar berpolitik dibandingkan ksatria lain.

Sejenak saya terdiam mendengar cerita Imamu Masjid. Namun, imajinasi di kepala ini bergerak liar dan menangkap nama Sri Bintang Pamungkas dan sahabat saya, Bambang Warih Koesoema. Pada masa orde baru, keduanya direcall dari panggung DPR karena “lompatan-lompatan Ksatria Katak”nya yang tak lazim dan di luar kendali partai.

Lima tahun yang silam, saya sempat membuat film dokumenter perjalanan Bambang Warih Koesoema menuju kursi senator. Saya paham, ia memang brilian, teramat kaya wawasan, dan terlalu luar biasa untuk kelas DPD. Sehingga, bila membandingkan dengan caleg-caleg yang muncul di saat sekarang, ia teramat perkasa. Maka, sangat wajar bila ia memiliki keberanian untuk membuat lompatan ala Ksatria Katak. Dan, wajar bila ia harus didepak dari sistem!

Dalam dunia spiritual, saya juga tak bisa melepaskan nama Hussein Al-Hallaj dengan pemaham wahdatul wujud-nya dan Syekh Siti Jenar dengan keyakinan Manunggaling Klawan Gusti-nya. Kedua “lompatan” itu merupakan pencapaian ruhani yang telah ma’rifat hingga terjadi penyatuan antara Pencipta dan yang dicipta secara ruhani. Keduanya menampakkan penyataan itu ketika mereka dalam kondisi fana, sehingga manusia awam beranggapan, “Mereka mengaku sebagai Tuhan!”

Buah dari “lompatan Ksatria Katak”nya, Al-Hallaj wafat di tiang gantungan lantaran dieksekusi Guru Mursyidnya sendiri, Syekh Abil Qasim Junaid Al-Baghdadi RA. Sebenarnya, sang Guru Mursyid tidak pernah menyalahkan keyakinan Al-Hallaj, namun sang murid dinilai tidak cerdas. Karena, ia melepaskan sisi kemanusiaannya ketika berada di tingkatan itu. Kesalahan terbesar lain, ia terlalu lancang membongkar rahasia tertinggi spiritual itu kepada manusia biasa.

Alasan penghukuman Dewan Wali Sanga atas Syekh Siti Jenar juga tidak jauh berbeda, yakni terkait “lompatan Ksatria Katak”nya. Sehingga, Syekh Siti Jenar harus menjadi martir atas lompatan yang melebihi batas dan tanpa koordinasi para wali lain. Point tidak rajin berkoordinasi alias jalan sendiri memang sangat memberatkan, melebihi fokus utama masalah yang memperkankan ajaran ma’rifat secara terbuka.

Masa telah bergulir jauh ke era lautan dan daratan menyatu dalam ikatan globalisasi. Batas-batas dunia telah pupus dirajut teknologi. Manusia antarbangsa menyatu di bawah antariksa komunikasi. Resiko keeratan itu, manusia modern orang lebih takut dijuluki “gagap teknologi” ketimbang “gagap guyub”. Dan, mereka juga dibuat terbiasa mengeluh sedih tanpa berbuat banyak, ketika tentara zionis membantai warga Palestina. Mereka juga hanya mesem-mesem ketika krisis globalisasi mengiris-ngiris nasib kaum dhuafa di berbagai belahan dunia.

Seiring dengan itu, kita juga tahu, “lompatan Ksatria Katak” ala Sri Bintang Pamungkas atau Bambang Warih Koesoema telah bermetamorfosis dalam berbagai bentuk dengan macam-macam karakter atau pelakon. Konsep Wahdatul Wujud–nya Hussein Al-Hallaj dan Manunggaling Klawan Gusti–nya Syekh Siti Jenar juga tetap mendapat tempat. Entah benar-benar menjadi keyakinan penuh atau sejedar lompatan untuk mencerahkan diri. Itu artinya, “lompatan Ksatria Katak” itu tetap memiliki apresiasi dan nilai di masa-masa selanjutnya.

Kesimpulannya, setiap orang memiliki potensi untuk melakukan lompatan-lompatan ala Ksatria Katak. Namun, ia juga harus menimbang resiko dan dampak yang bakal didapat. Buat kita, mungkin lompatan itu hebat dan mempesona, tapi bagaimana dengan sekitar kita? Bagaimana dengan sistem? Karena, jangan-jangan sistem masih mengakomodir cara hidup para ksatria yang lurus, patuh, dan setia berjalan sesuai trek, tanpa hasil yang meletup-letup. Sehingga, lompatan itu bukan hanya mubazir, namun justru menjadi nilai teramat buruk di kemudian hari. Boleh saja kita berdalih bahwa lompatan itu dilakukan untuk kejayaan sistem. Tapi, apakah hal itu dipahami juga oleh sekeliling kita atau sistem?

Pilihan memang ada di tangan kita untuk menjadi berbuat apa saja dengan kapasitas yang ada. Baik mencoba “berulah” dengan lompatan Ksatria Katak versi kita, maupun bertahan dengan kepatuhan pada sistem. Kedua pilihan itu tetap mengundang resiko. Karena, pada hakekatnya, kita tengah bermain di ranah fisik yang semuanya dirundung banyak faktor dan ketidakpastian.

Jangan berpikir, sekeliling kita akan mudah memahami pola pikir atau keinginan kita. Dan, jangan juga mencoba-coba menyandarkan pemikiran itu pada agama, karena bisa tidak “nyambung”. Boleh saja kita keyakinan, karena orang-orang di sekitar kita telah hafal dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits, rajin menelah kitab tasawuf klasik Al-Hikam atau Sirrul Asraar-nya Syekh Abdul Qadir Al-Jailani QS. Tapi, sekali lagi, persoalan dunia bisa membutakan mata batin dan mata lahirnya, hingga bila lompatan tidak berkenan di mata sistem maka jadi tidak bermakna pula di mata-mata mereka.

Yang pasti, saya makin terperangah, ketika mantan Imamu Masjid membiuskan pesan atas cerita “lompatan Ksatria Katak”nya itu bahwa setiap dari kita harus membuat lompatan besar dalam hidup kita di bidang ruhani. Sekali lagi di bidang ruhani, bukan jasmani. Artinya, saatnyalah menyadari bahwa kita memiliki beban tanggung jawab hidup untuk dunia dan akhirat. Saatnyalah mengetahui bahwa pencapaian lompatan-lompatan itu terkait jasmaniah dan ruhaniah. Saatnyalah meyakini bahwa hasil dari kedua hal itu berhubungan dengan kedekatan kita dengan Yang Mahapencipta. Pada satu titik, ketika usia semakin senja, lompatan mendekatiNya adalah lompatan terhebat sang Ksatria Katak.

“Lompatan itulah yang dilakukan Rasulallah SAW di Goa Hira saat berusia 40 tahun. Lalu, ia juga berkesempatan melakukan lompatan lain melalui momen Isra dan Mi’raj. Dan, banyak rentetan lompatan-lompatan. Dan, semuanya berawal dari lompatan di Goa Hira,” kata sang mantan Imamu Masjid.

Belakangan, saya baru sadar bahwa lompatan sang Ksatria Katak itulah yang disebut “hijrah”. Ya, hijrah secara ruhani. Hijrah untuk lebih memikirkan masalah akhirat dibandingkan masalah dunia. Hijrah untuk mencapai maqom-maqom spiritual yang lebih tinggi dibandingkan prestasi duniawi. Dan, hijrah untuk makin erat dan ikatan mahabbah dan ma’rifat dengan Yang Mahamencintai.

Artinya, sebagian dari kita boleh menderita kalah berkat resiko lompatan ala Ksatria Katak di ranah jasmaniah. Tapi, semoga saja, hal itu menjadi pelajaran untuk segera melakukan lompatan ala Ksatria Katak di arena ruhaniah. Karena, pada hakekatnya, arena ruhaniah pun membutuhkan perhatian besar dibandingkan ranah jasmaniah. Dan, buah pencapaiannya juga sangat-sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan di alam fana itu, dan tentu saja, di alam baqa kelak.[]

Tidak ada komentar: