Januari 11, 2009

LOMPATAN KSATRIA KATAK (2)

Seorang teman menyatakan keprihatinannya atas cerita “Lompatan Ksatria Katak” terdahulu. “Sangat real,” katanya. Dan, ia merasa jadi bagian dari kaum Ksatria Katak itu. Dalam konteks organisasi yang diikutinya, tentu saja. Sebaliknya, seorang teman lain bertanya-tanya, adakah cerita itu di dunia nyata? Kalau iya, bagaimana gambaran rincinya?

Bila teman yang pertama berada di sebuah lingkungan perusahaan besar, maka teman yang kedua baru saja lulus dari bangku kuliah. Maka, sangat wajar, bila cerita “Lompatan Ksatria Katak” menghadirkan dua persepsi yang bertolak-belakang; keprihatinan dan ketidakpercayaan. Sehingga, saya harus memilih, untuk memberikan cerita tambahan untuk kedua teman saya itu. Dan, semoga masing-masing menangkap pesan yang saya maksud dengan kejujuran.

Menyangkut pertanyaan pertama, di manakah setting cerita “Lompatan Ksatria Katak” itu terjadi? Jawabnya, sudah pasti melingkupi semua organisasi dengan banyak nama, bentuk, tujuan, dan ciri-ciri kekhasan lainnya. Bahkan, juga organisasi keagamaan. Termasuk juga, yang telah mengurusi para ikhwan yang tengah menekuni jalan menuju Tuhan alias majelis tarekat. Motifnya, macam-macam dan bikin muak untuk dibahas!

Bila jawaban di atas belum juga bisa menjelaskan, menurut saya, ada baiknya mengingat-ingat kembali lelakon “Petruk Dadi Raja” yang kerap dimainkan di panggung-panggung pewayangan. Semiotik cerita itu, pada hakekatnya tentang kesemrawutan sistem, hingga seorang punakawan bisa menjadi pemimpin. Akibat selanjutnya, para punakawan lain pun naik pangkat. Entah menjadi menteri, dirjen, direktur, atau Ketua RT. Dengan beranjaknya status kaum sudra yang juga “sudra” dalam kompetensi dan aturan profesional, maka muncullah kesemrawutan-kesemrawutan lain. Hingga, lompatan-lompatan para Ksatria Katak jadi tidak bermakna. Namun, kibas sayap burung merak, celoteh latah burung beo, auman harimau ompong, trik-trik licik kancil, atau penyamaran bunglon, menjadi lebih diperhitungkan.

Bila ilustrasi di atas terasa begitu subyektif dan tidak menjangkau nalar ilmiah, maka ada baiknya saya kutipkan esai Emha Ainun Nadjib dalam buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki”. Alkisah, terdapat dua musafir di padang pasir nan gersang, yang sayup-sayup melihat titik hitam di kejauhan. Musafir pertama yakin, titik hitam merupakan kerbau. Sedangkan musafir kedua tak kalah yakin, titik hitam itu merupakan benteng. Lalu, mereka pun bergegas mendekati sumber perdebatan itu.

Dalam setiap jarak tertentu, mereka terus menjejalkan keyakinannya. Yang satu mengatakan kerbau dan yang lain mengatakan banteng. Dan, keduanya sama-sama keras kepala. Sama kerasnya dengan batu yang tak retak akibat sengatan matahari. Hingga, mereka pun berhasil mendekati titik hitam itu. Sesaat kemudian, titik hitam yang telah berbentuk itu terbang ke angkasa.

“Burung!” kata musafir pertama.

Namun, musafir kedua tetap dengan keyakinannya bahwa titik hitam itu merupakan banteng. Musafir pertama emosi. Karena, ia merasa matanya masih sehat dan wawasannya yang mumpuni untuk menyimpulkan, titik hitam yang bisa terbang itu merupakan burung. Musafir kedua juga tak kalah galaknya, untuk mempertahankan argumennya. Sehingga, keduanya juga tidak pernah bisa akur dan keukeuh dengan keyakinannya.

Profil musafir kedua yang ngotot dengan pendapatnya – meski salah dan jelas-jelas salah – merupakan gambaran orang-orang yang memainkan sistem di Kerajaan Rimba. Persisnya, dengan pemimpin yang tidak memiliki trah dan sudra dalam segala hal. Ya, persis lelakon “Petruk Dadi Raja”. Ia hanya patuh pada kebijakan sang Raja, sesalah atau sebodoh apapun. Dan, sudah pasti mereka tidak mengenal jargon “lompatan Ksatria Katak” dalam kamus pribadinya. Karena, mereka hanya mengenal kamus yang disodorkan sang Raja.

Sebaliknya dengan musafir pertama yang lurus dan jujur, maka jadi makhluk tidak popular di lingkungan kerajaan itu. Dan, seandainya ia mau diperhitungkan kembali hingga bisa bergabung dalam tim, maka ia harus memperbaiki kepolosan nalarnya. Jangan takut dibilang bodoh atau tidak berwawasan. Karena, patokan kompetensi sudah bergeser. Bergegaslah untuk mengikutinya, atau terlempar dari sistem dan menjadi ksatria-ksatria tak bertuan ala Ronin.

Masalahnya, apakah seseorang yang merasa memiliki Tuhan, apapun agamanya, ikhlas menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada keadaan? Apakah keimanan yang dibangun sejak balita harus luntur, hingga tanpa sadar menuhankan manusia lain? Padahal, Yang Mahaperkasa pun memiliki kecemburuan yang tinggi dan sangat tidak ikhlas hambaNya harus bergeser, hanya karena takut kehilangan posisi dan masa depan. Bukankah kedua hal itu sudah diatur olehNya?

Meniatkan diri untuk mulai ber“hijrah” secara ruhaniah merupakan lompatan ala Ksatria Katak terbesar dan bersejarah dalam kehidupan manusia. Tumbuhnya kesadaran untuk makin mengenalNya jauh lebih penting dibandingkan hal apapun. Sehingga, ketika para merak, beo, harimau ompong, kancil, bunglon, atau hewan-hewan lain yang takut susah berkeliaran dan menggoda keimanan, kita tetap istiqomah untuk berada di jalanNya.

Dan agar niat itu tidak sia-sia dan sekedar pelampiasan keputusasaan, maka harus dibuktikan dengan amaliyah. Setiap agama memiliki cara masing-masing untuk menunjukkan kesusungguhannya ber”hijrah”. Yang dibutuhkan. kedisiplinan untuk menjalankannya. Plus, tanpa menoleh kiri-kanan, tapi lurus ke depan ke arah Yang Mahakuasa.

Bila hal itu juga masih membuat hati dan pikiran goyah, maka segeralah mendekati guru yang sebenar-benarnya guru. Dan, tidak larut dalam diskusi-diskusi pepesan kosong atau buku-buku bacaan. Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jalilani QS, “Buanglah buku-bukumu dan carilah seorang guru, bila engkau ingin mendekatiNya.” Tujuannya, agar kita benar-benar mendapat bimbingan yang betul untuk mendekatiNya dan tidak diombang-ambing pendapat-pendapat yang tak jelas. Dengan adanya guru, maka “hijrah” itu jadi lebih terarah dan benar-benar memberikan makna atau lompatan terbesar ala Ksatria Katak itu.[]

Tidak ada komentar: