Juni 27, 2008

MANUSIA dan KEPEMIMPINAN (2)

Ini cerita lucu-lucuan di lingkungan kantor. Isinya memang jauh dari kesan cerdas. Tapi, bila dikaji lebih dalam, tetap ada pelajaran yang bisa diambil. Intinya tentang sosok pemimpin dengan tiga “kepribadian”. Atau, lebih tepatnya, dengan tiga ambisi.

Bila memiliki atasan yang lebih banyak dipengaruhi pemikiran ekonomi, maka ia cenderung akan menganggap keuntungan di atas segala-galanya. Apa pun bisa dijual. Apa pun bisa dijajakan. Tidak ada pertimbangan idealis. Tidak ada pertimbangan moral. Yang ada di benak; apa yang dibuat dan diproduksi bisa diterima pasar. Sehingga, bawahan pun dituntut untuk bisa berjualan! Terutama, memenuhi keuntungan bagi kantong pribadi sang atasan!

Bila memiliki atasan yang lebih banyak dipengaruhi pemikiran politik, maka ia cenderung akan menganggap kepentingan di atas segala-galanya. Entah kepentingan pribadi, teman, sahabat, kroni, atau kaum. Tidak ada pertimbangan idealis. Tidak ada pertimbangan moral. Yang ada do otak; apa yang dibuat dan diproduksi bisa menyenangkan pribadi dan orang-orang terdekat lainnya. Sehingga, bawahan pun jadi obyek untuk dikorbankan! Terutama, untuk memenuhi kepentingan kehidupan pribadi dan kaum sang atasan!

Bila memiliki atasan yang lebih banyak dipengaruhi pemikiran profesi, maka ia cenderung akan menganggap idealisme di atas segala-galanya. Keuntungan tidak lagi penting. Kepentingan jadi barang haram. Yang penting, apa yang dibuat dan diproduksi bisa memuaskan pikiran dan hatinya. Sehingga, bawahan pun jadi sasaran untuk menjalankan dokrin-dokrin pribadi! Terutama, untuk memenuhi kepuasan otak dan ambisi sang atasan!

Intinya, kejujuran menjadi bekal terpenting selain keterampilan (skill) dalam menjalankan amanah. Atasan yang jujur tidak akan menjadikan bawahannya sebagai sales atau staf pemasaran (khususnya, untuk memenuhi keuntungan pribadi sang atasan). Atasan yang jujur tidak akan menjadikan seluruh bawahannya sebagai jongos atau obyek (khususnya, untuk meningkatkan citra dan keuntungan pribadi sang atasan. Atasan yang jujur tidak akan menjadikan seluruh bawahannya sebagai kelinci percobaan (khususnya, untuk memperlihatkan kehebatan skill sang atasan).

Dalam praktiknya, atasan dengan ketiga karakter di atas, akan memulai niat pribadinya itu dengan bermain-main dengan sumber daya manusia. Ia cenderung akan memilih kaumnya sebagai tenaga inti, dan akan menyingkirkan siapa pun yang dianggap berbeda. Bahkan, ia juga tidak akan ragu-ragu merekrut tenaga-tenaga baru. Sehingga, tenaga-tenaga yang dianggap berseberangan tidak memiliki tempat atau di pos yang tidak penting.

Apabila langkah pertama terpenuhi, maka ia pun langsung tancap gas untuk memuluskan niatnya. Tanpa ada keraguan dan malu-malu. Bila masih ada bawahan yang mengkritisi atau mempertanyakan keganjilan kebijakannya, maka ia tidak segan-segan menawarkan opsi pamungkas; mengundurkan diri atau dipecat?!

Bila langkah kedua selesai dilakukan, maka ia akan menjadi-jadi. Ia makin ketagihan. Laksana menghisap candu. Dan, jangan tanyakan kualitas produk atau pekerjaan, karena hal itu menjadi tidak penting lagi. Bisa saja bawahan mengeluh atau kecewa akan kualitas kerja tim. Tapi sang atasan sendiri cenderung tidak peduli. Karena, bukan itu target diri-pribadinya. Bahkan, bisa jadi, sangat bertentangan dengan target perusahaan.

Herannya, atasan dengan karakter seperti cerita di atas, kok bertebaran di sekitar kita?

Abu Dawud meriwayatkan dari Irbaz Ibn Sariyah bahwa suatu hari Rasulallah saw mengimami shalat, kemudia berpaling kepada kami dan berbicara dengan jelas sehingga air mata kami bercucuran. Hati kami bergetar karena takut kepada Allah.

Seseorang berkata, “Wahai Rasulallah, pembicaraanmu seperti kata-kata orang yang sedang memberikan seruan terakhir sebelum meninggalkan kami. Apa wasiat terakhirmu untuk kami?”

“Takut dan cintalah kepada Allah, karena Dia layak ditakuti dan dicintai. Taat dan ikutilah pemimpinmu sekali pun ia seorang budak Afrika. Sebagian kalian yang hidup lebih lama dariku akan menghadapi banyak pertentangan di masa perpecahan. Karena itu, berpegang-teguhlah kepada sunnahku dan ikutilah khalifahku yang mendapat petunjuk (khulafau al-rasyidin). Bertahan dan bersabarlah. Waspadai dan hindarilah bid’ah, karena setiap hal yang tidak sesuai dengan sunnahku adalah penyimpangan, dan setiap penyimpangan adalah kesesatan. Dan, tempat bagi setiap penyimpangan adalah neraka.”

Diriwayatkan dari Sayiddah Aisyah ra bahwa Rasulallah saw bersabda, “Ada enam jenis orang yang aku laknat, Allah juga melaknat mereka, demikian juga para nabi yang doanya diterima. Mereka adalah orang yang menambah-nambahi firman Allah dengan kata-kata yang tidak pernah difirmankan; orang yang mengingkari takdir dan kehendak Allah; tiran yang sombong, yang menganiaya umatku, yang berusaha merendahkan orang yang ditinggikan Allah dan meninggikan orang yang direndahkan Allah; orang yang rida dengan apa yang dilarang Allahl orang yang berpikir bahwa dibolehkan untuk keluarga dan keturunanku apa yang dilarang atas orang lain; dan orang yang meninggalkan kami.” (HR al-Tabrani).[]

Sumber Referensi: Syekh Muhammad Ali al-Birgawi, “Tarekat Muhammad”, Penerbit Serambi, Jakarta, 2008.

Tidak ada komentar: