Mei 03, 2008

Konsep Takhali - Tahali - Tajjali (2)

Masih uraian tentang konsep takhali – tahali – tajjali. Kali ini, saya mencoba menguraikannya sebagai bahan renungan atau kontemplasi. Takhali merupakan langkah membersihkan hati dan rasa dari sifat-sifat buruk; iri, dengki, sombong, suka pamer, mudah berburuk-sangka, dan sebagainya. Pikiran dan hati menjadi sasaran utama, karena kedua hal itu memainkan peranan penting dalam setiap kehidupan manusia. Bahkan, hati disebut-sebut sebagai tempat berkumpulnya segala keinginan dan hawa nafsu. Tapi, percikan cahayaNya justru mengarah ke tempat itu. Pada tahapan ini, kita dihantarkan pada titian maqom-maqom tobat, sabar, syukur, ikhlas, ridha, dan tawakal. Selain perbaikan akhlak, maka pelaksanaan Rukun Islam secara syariat yang lebih berkualitas dan berkuantitas pun menjadi perhatian. Tahali merupakan langkah mengisi pikiran dan hati dengan namaNya. Hanya namaNya. Ada namaNya yang teragung dan ada 98 nama lain yang juga agung. Semuanya bisa berganti-ganti mengisi relung hati. Sehingga, seluruh indera, pikiran, dan hati, benar-benar untukNya. Zikir sepanjang masa. Dalam kaitan itu, pelaksanaan ibadah dan berbuat kebajikan juga mendapat porsi terbesar. Pada tahapan ini, kita diminta berhijrah lebih jauh dari martabat syariat ke martabat tarekat dan hakekat. Stasiun spiritual yang ingin dijangkau adalah taslim dan fana. Selain perbaikan akhlak – yang mengarah pada hati dan rasa atau jiwa – pelaksanaan Rukun Islam pun dilakukan secara syariat, tarekat, dan hakekat. Dan, tentu saja, dengan kualitas dan kuantitas yang tanpa batas. Untuk Salik pemula, yang masih berkeinginan mengisi relung hatinya agar tetap bersih dari hawa nafsu, biasanya menghantarkan kalimat tauhid ba’da shalat fardhu atau shalat sunnah semacam shalat dhuha atau shalat lail. La ilaha illa Allah. Tiada tuhan selain Allah. Lonjakan spiritual sang salik – penempuh jalan menuju kesucian akhlak – yang kelak akan merubah kandungan kalimat tauhid. Di tingkat pertama, kita melantunkan, la ilaha illa Allah. Tiada Tuhan selain Allah. Rasakan, betapa Ia masih merupakan nama, yang seakan belum kita kenal. Hanya mengenal nama. Naik ke tingkat kedua atau tauhid lil bubtadi’in, zikir pertama tadi berubah menjadi, la ilaha illa Huwa. Tiada Tuhan selain Dia. Rasakan perbedaannya dibandingkan zikir di tingkat pertama, betapa kita mulai merasakan kehadirannya. Dia yang sudah kita kenal. Tanpa menyebut namaNya, arah kita sudah jelas tentangNya. Jarak itu semakin dekat. Beranjak ke tingkat ketiga atau tauhid lil mutawassithin, zikir kedua tadi berubah menjadi, la ilaha illa Anta. Tiada Tuhan selain Engkau. Rasakan lagi perbedaannya dibandingkan zikir di tingkat sebelumnya, betapa kita serasa berhadapan denganNya. Engkau yang kita kenal dengan baik. Bukan lagi sebutan namaNya atau Dia. Tapi, kalimat itu serasa diucapkan di depannya. Dalam sebuah dialog horizontal. Lebih tinggi lagi di tingkat empat atau tauhid lil kummal, zikir ketiga tadi berubah menjadi, la ilaha illa Ana. Tiada Tuhan selain Aku. Rasakan dulu perbedaannya dibandingkan zikir-zikir di tingkat sebelumnya, betapa serasa Ia ada di dalam diri kita. Aku yang telah menyatu dengan diri kita sendiri. Syekh Datuk Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar menyebut tingkatan zikir tersebut sebagai manunggaling kawula klawan Gusti; menyatunya diri hamba dengan diri Tuhannya. Syekh Hussein Al-Hallaj menyebutnya sebagai wahdatul wujud. Bahkan, Imam Ali bin Abi Thalib kw juga menzikirkan kalimat tauhid lil kummal tersebut. Sedangkan gerbang terakhir, tajjali, lebih merupakan pencapaian atas kedua langkah tadi. Pengejewatahan atas kerja keras dan keyakinan tentangNya. Ada yang menyebutnya ma’rifat. Penyaksian akan cahayaNya. Dalam konteks tasawuf filsafat, hal ini diwujudkan dengan penyaksian Nur Muhammad (simbol warna-warna pembentuk manusia – merah, kuning, hitam, dan putih) dan Johar Awal (simbol pancernya sendiri, yang merupakan cerminan lafad ALIF – LAM – LAM – HA). Dengan demikian, maka kita pun baru bisa disebut umat! Umat yang sebenar-benarnya umat. Sementara di tempat berpijak yang lain, kita masih dapat cerita orang-orang yang masih digoda dan ditawarkan banyak pilihan. Baik menyangkut persoalan duniawi maupun masalah akhirat. Masing-masing pun memiliki dampak yang berbeda-beda bagi perjalanan hidup kita. Yang pasti, selama diri kita masih disibukkan keinginan-keinginan untuk memecahkan persoalan duniawi, maka tekad untuk mendapatkan kemuliaan di hadapanNya, jadi sulit. Allah akan memalingkan wajahnya kepada kita, jika kita tidak mengarahkan wajah kita kepadaNya. Semuanya berpulang dari kita. Ingatlah, ketika berada di tahapan takhali, sesungguhnya kita telah bertekad untuk mengenakan jubah wara dan zuhud. Jadi, tidak alasan untuk berpikir tentang dunia. Terlebih lagi, bila kita merasa sudah berada di tahapan tahali atau tajjali. Ah, terlalu hina bila diri ini masih memikirkan asesoris duniawi. Jangan terlalu larut dengan masalah-masalah duniawi. Kita bekerja sebatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi, pikiran dan hati mulai diarahkan kepadaNya secara total. Jangan berpikir terlalu berlebihan tentang jabatan, kedudukan, posisi, gaji, atau fasilitas. Jangan terlalu berburuk-sangka juga pada atasan atau teman-teman kerja. Tapi, saatnya juga merubah akhlak. Menampilkan citra diri yang bisa menjadi teladan bagi orang lain. Minimal, istri dan anak-anak kita. Saatnyalah meyakini prinsif kita sendiri. Jangan takut dimusuhi atau tidak memiliki teman. Tentukan posisi, di mana kita akan berdiri? Kita akan menjadi kaum apa? Tentukan pilihan dan rasakan resikonya. Karena, kita kan sadar, setiap keputusan akan berbuah resiko. Saatnyalah membela kata hati kita sendiri, yang sudah kita yakini kebenarannya di lihat dari sudut mana pun. Dengan begitu, barulah kita bisa berani memutuskan diri, untuk beristiqomah. Memulai hidup baru dengan konsep yang tercerahkan, dengan akhlak yang lebih mulia, dan dengan optimisme yang lebih besar. Tidak lagi memelihara penyakit hati. Tidak ada lagi orang-orang yang musuh atau pesaing. Tidak ada lagi orang-orang yang kita sebut kafir atau munafik. Kita abaikan untuk sementara dampak atau hasil. Karena, hal itu akan berpulang kembali pada kuasa Allah. Yang pasti, manusia wajib berikhtiar. Termasuk dalam syiar Islam dan berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran tadi. Namun, niat, tekad, dan usaha, yang mereka kembangkan, sesungguhnya keinginan yang menggebu untuk membangun surga yang hakiki. Surga yang berlandaskan Islam, Iman, dan Ihsan. Surga yang dibentuk oleh orang-orang yang telah meniti perjalanan spiritualnya dari takhali hingga tajjali, menyusuri maqom per maqom dari tobat hingga mahabah, dan istiqomah menekuni kendaraan spiritualnya dari syariat hingga ma’rifat. Dan, bila di hati kita masih ada kejengkelan akan nasib yang belum pasti atau berbagai belenggu persoalan lainnya, maka segera saja membasuh wajah dengan air wudhu. Lalu, dirikan shalat sunnah dan fardhu, serta berzikir selepas-lepasnya. Kita coba tauladani setangkai suket yang rajin membasuh daun-daunnya dengan embun pagi seraya mengalunkan pujian buatNya. Di hadapan Yang Mahahidup, kita bisa berserah diri sambil mengungkapkan kegalauan hati dengan sepuas-puasnya. Dia ada, karena itu Dia hadirkan nama Baginda Rasullah Muhammad saw di langit ketujuh, sehingga Nabi Allah Adam as menyaksikannya. Bahkan, beliau berdoa atas nama makhluk ciptaanNya yang tersempurna dan terkasih itu. Dia ada, karena itu Dia sediakan alam semesta dan isinya, untuk menampung harmoni kehidupan makhluk-makhluknya. Bahkan, Dia pun menebarkan kemuliaan nama-nama agungNya, agar dijadikan selimut bagi makhluknya yang paling sempurna. Dia berkuasa, karena itu Dia merancang dan mengatur alur kehidupan makhluk-makhluk begitu sempurna. Hidup-mati, kaya-miskin, suka-duka, berhasil-gagal, adalah bukti-bukti kecintaan kepada makhluk-makhlukNya. Sehingga, Dia merasakan tobat, sabar, syukur, ikhlas, ridha, dan tawakal, makhluk-makhlukNya. Agar mereka benar-benar mampu bertaslim dan memfanakan diri, sekaligus meraih indahnya mahabah. []

Tidak ada komentar: