Maret 28, 2008

PUNGGAWA PERAHU SANDEQ SUKU MANDAR

Kawasan pesisir Sulawesi Barat dikenal sebagai tempat bermukimnyasuku Mandar – salah satu suku laut di pulau Sulawesi. Dalam dunia antropologi, nama suku Mandar senantiasa disejajarkan dengan suku Bugis, suku Makassar, atau suku Bajo. Salah satu perbedaan suku Mandar dibandingkan suku-suku laut lainnya di pulau Sulawesi, mereka dikenal sebagai posasiq atau pelaut-pelaut yang tangguh.

Sebenarnya, mereka bukan hanya dikenal sebagai pelaut yang sanggup mengarungi lautan berapa pun jauhnya. Tapi, mereka pun handal dalam mengumpulkan ikan di laut-laut dalam. Mereka memang menggantungkan nafkah sehari-harinya pada laut. Sehingga, perahu dan laut pun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka.

Nama suku Mandar kerap dikaitkan dengan salah satu jenis perahu kreasi mereka, perahu sandeq. Yakni, perahu tradisional dengan layar lebar, cadik, katir panjang, serta bentuk haluan dan buritan yang pipih-runcing. Karena bentukk buritan yang pipih-runcing itu, maka disebut sandeq yang berarti “runcing”. Dan, bagi warga suku Mandar, perahu sandeq bukan sekedar kendaraan untuk mencari nafkah, tapi juga memberikan status sosial tinggi bagi pemiliknya.

Perahu sandeq dibuat dengan mengacu pada struktur manusia, dengan tulang rangka dan anggota-anggota tubuh lainnya. Pusat “kehidupan” perahu sandeq adalah pada possi atau pusat di bagian bawah tengah lambung. Saat perahu tersebut dibuat atau tengah menjalani prosesi ritual, possi mendapat perhatian tersendiri dari pemimpin ritual (sanro).

Cerita menarik yang dapat digali dari perahu sandeq adalah kekerabatan yang kental antara perahu sandeq dan awaknya (passandeq). Ibaratnya adalah kuda dan jokinya. Perahu sandeq yang kokoh, cantik, dan mampu melaju cepat di atas samudera (lopi sandeq nan malolo), harus dikendalikan oleh passandeq-passandeq yang tangguh. Mereka terdiri atas punggawa dan sawi – dalam konteks suku Bugis atau suku Makassar, sawi disebut sahi.

Punggawa merupakan kapten dan juru mudi, sedangkan sawi menjadi pengatur arah layar dan keseimbangan perahu. Dia atas perahu sandeq, punggawa dan sawi merupakan kelompok kerja yang kompak. Pada hakekatnya, punggawa adalah kapten atau pimpinan atas para sawi. Karena itu, ia bukan orang sembarang di dalam timnya.

Seseorang dijadikan punggawa, karena ia dianggap mumpuni dalam hal; keterampilan melaut (paqissangang aposasiang), pengetahuan berlayar (paqissangan sumobal), pengetahuan keperahuan (paqissangang paqlopiang), dan kemampuan supranatural (paqissangan). Punggawa bukanlah orang yang dipilih karena kedekatannya dengan pemilik perahu atau kepala desa. Tapi, ia memang memiliki bekal keterampilan yang lebih dibandingkan para sawinya.

Umumnya para punggawa adalah orang-orang yang sudah berumur.

Warga suku Mandar memang tidak pernah bermain-main dengan urusan penetapan punggawa. Karena, ia bukan hanya akan bertanggungjawab atas laju perahu di atas air. Tapi, juga menyangkut keselamatan seluruh awaknya dan pendapatan melautnya.

Di atas perahu sandeq, ia benar-benar menjadi tokoh kharismatik bagi para sawi. Komando-komando sang punggawa menjadi peraturan mutlak bagi para sawi. Karena itu, punggawa yang pendiam sekali pun akan berubah total saat ia memimpin di atas perahu sandeq. Tiba-tiba, ia bisa berwatak keras dan garang saat mendapati sawinya tidak patuh atau lamban menerima instruksinya. Tapi, ia juga bisa menjadi lembut dan santun tatkala para sawi telah melaksanakan tugasnya dengan sempurna.

Catatan yang tidak bisa diabaikan, punggawa adalah pimpinan menyejukkan hati para sawi. Ia adalah tokoh panutan, sandaran, dan juga masa depan. Pola kepemimpinannya yang terbilang tradisional justru menghadirkan inspirasi mendalam di kancah kepemimpinan modern. Adakah sosok kharismatik yang bisa kita dapatkan di lingkungan kita? Ya, sesejuk sang Punggawa yang sudah pasti kalangan suket itu?

Patron punggawa-sawi dalam kehidupan suku Mandar adalah inspirasi berharga soal bagaimana seseorang dipilih menjadi pemimpin, bagaimana ia harus bersikap terhadap bawahannya, dan sebaliknya, bagaimana bawahan harus mengikuti semua ketentuan yang digariskan oleh atasan.

Seorang punggawa dipilih karena ia memiliki modal terbesar dalam kepemimpinannya, yakni personal power (kharisma). Modal itu didapat bukan dari sekolah atau perguruan tinggi. Tapi, titisan bakat, pengalaman berguru pada orang-orang pintar, dekat dengan Yang Mahapencipta, dan keterampilan teknis yang terus diasah, menjadi peluru-peluru berharga, untuk melengkapi personal power.

Dan seperti juga masyarakat adat di daerah lain, variabel personal power menjadi syarat utama dibandingkan syarat-syarat lain. Terlebih lagi, faktor “x”. Mereka tidak mengenal istilah KKN. Mereka tidak mengenal siasat “kedekatan”. Bahkan, pemunculan aura “kharisma” pun tidak dengan unsur kesengajaan. Tapi, hal itu dibentuk proses panjang dan proses pembelajaran jiwa yang dalam (lelaku).

Bandingkan dengan para pemimpin di sekitar kita, yang umumnya memiliki latar belakang yang tidak jelas dan “bangunan” personal power yang juga kosong. Sehingga, ia memang terlihat kering dan sulit mendapat simpati dari bawahannya. Parahnya, kelemahan itu pun harus ditutupi proteksi defensif yang membuatnya makin jauh dari akar rumput. Beruntung masih ada orang-orang yang tidak sabar dan berharap cepat-cepat mendapat perhatiannya. Dampak selanjutnya, keharmonisan organisasi pun makin terganggu. Di sisi lain, bawahan yang tidak berani “jual diri” menjadi batu sandungan tersendiri dan kerap dianggap akan merepotkan dirinya.

Larry King dan Bill Gilber dalam bukunya “Seni Berbicara kepada Siapa saja, Kapan saja, di Mana saja”, harus menyediakan bab tersendiri untuk mengajarkan cara berkomunikasi yang baik dengan seseorang. Terlebih, kepada atasan. Intinya, kita harus berbicara dengan kejujuran hati, menunjukkan minat terhadapnya, membuka diri, dan memperlihatkan sikap yang benar – membuat nyaman lawan bicara. Bila dirangkum dalam satu kata, empati namanya. Bisakah kita melakukan hal-hal seperti itu?

Kalau pun bisa, apakah atasan kita paham atau mengerti dengan usaha itu? Jangan-jangan ia memiliki teori atau dasar pemikiran lain tentang teknik berkomunikasinya. Sehingga, nggak nyambung juga jadinya. Ini boleh dibilang kemungkinan terburuk atau pahitnya. Tanpa bermaksud su’udzon.

Simak juga pendapat pakar psikologi David J. Lieberman dalam “Agar Siapa saja Mau Melakukan Apa saja untuk Anda”, yang menekankan makna keakraban, perlunya berkumpul bersama orang yang kita maksud, menunjukkan sikap suka dan perhatian terhadapnya, seraya menunjukkan itikad untuk membangun komunikasi yang baik – dengan memperlihatkan antusias, gairah, riang, aktif, dan membuatnya nyaman. Memperlihatkan sikap positif terhadapnya. Lagi-lagi, empati jawabannya.

Punggawa perahu sandeq adalah sang Suket yang telah mendapat amanah sebagai pemimpin. Ia mendapat limpahan hidayah untuk memetik buah dari bibit-bibit daya tahan, keteguhan, kesungguhan, ketabahan, dan kepasrahan. Sehingga, rona-rona sabar, syukur, ikhlas, ridha, tawakal, taslim, fana, bahkan mahabah, yang dihembuskannya mampu menyejukkan sekelilingnya. Utamanya, bawahan dan keluarganya di rumah. Semoga saja orang-orang semacam atasan Tia juga bisa disentuh hidayahNya. Sehingga, ia bisa mengemban amanah laksana sang Suket yang telah menjadi pemimpin. []

Tidak ada komentar: