Mei 25, 2008

Manusia dan Persoalan

Pernah merasa sendiri dan larut dalam kepapaan diri? Lalu, jadi merasa jatuh tanpa daya?

Sejatinya setiap kehidupan memang melimpahkan banyak persoalan, sehingga membelenggu setiap individu di dalamnya menjadi merasa sendiri dan papa. Banyak orang stress karena merasa sendiri. Banyak orang dirawat di rumah sakit jiwa karena merasakan kepapaan diri. Banyak orang yang bunuh diri, juga karena ketidakmampuan mengontrol beban-beban masalah tersebut. Intinya, kesendirian dan kepapaan diri akibat deraan beban masalah mutlak milik semua orang. Dan, tentu saja, melimpahkan dampak buruk untuk kelanjutan hidupnya.

Karena, pada dasarnya, sejak kita bangun tidur pun di rumah, sudah pasti mendapat masalah. Entah karena istri atau suami yang melaporkan konflik dengan tetangga atau teman kerja. Entah persoalan yang didapat anak-anak. Entah persoalan kebutuhan yang belum terpenuhi. Banyak lagi ragam persoalannya.

Di lingkungan perusahaan?

Jangan ditanya.

Ribuan persoalan bermunculan setiap hari. Ribuan masalah senantiasa menuntut penyelesaian. Dimulai dari jenis pekerjaan itu sendiri; entah mampu dikerjakan atau tidak? Entah bisa dinikmati atau tidak? Entah bisa memberikan nilai lebih atau tidak? Entah bisa memberikan prestasi atau tidak? Entah bisa mendapat applaus dari atasan atau tidak? Dsb. dsb. Sehingga, masing-masing pertanyaan itu akan menyumbang masalah sedikit demi sedikit, langsung atau tidak langsung, dan disadari atau tidak disadari.

Ketika berbicara tentang tahap pengerjaannya, kita pun disajikan ragam pertanyaan-pertanyaan lain; bagaimana tim kerjanya? Bisakah menjalin kerjasama dengan kita? Apakah rekan kerja kita memiliki tekad dan tujuan yang sama atas pekerjaan itu? Bagaimana mereka memandang kemampuan atau kepribadian kita? Akhirnya, masing-masing pertanyaan itu pun akan mengkonstribusikan masalah baru. Tahap per tahap, dengan timingnya masing-masing.

Ketika berbicara hasil pengerjaannya, kita pun harus bersiap-siap menerima pertanyaan lain; apakah hasilnya sesuai permintaan atau target? Apakah memuaskan hati kita? Apakah memuaskan teman-teman satu tim? Apakah juga mampu memuaskan atasan kita? Lalu, bagaimana apresiasi atau penghargaan yang didapat? Sepi-sepi saja atau ada kejutan besar? Buntut-buntutnya, sumbangan-sumbangan masalah pun berdatangan lagi tanpa henti. Siapa pun dijamin tidak akan mampu menghentikan derasnya persoalan demi persoalan.

Rumusan sederhananya, begitu kita memasuki ruang kerja dan mendapatkan suatu pekerjaan, maka ribuan beban dan masalah telah menunggu. Seakan kita memang disiapkan untuk menerima beban dan masalah. Asumsi tersebut membangun keyakinan kita bahwa dunia kerja mewajibkan, untuk menguasai modal khusus bernama “manejemen permasalahan”. Ya, kemampuan untuk menampung, menata, dan menyelesaikan, setiap permasalahn di luar teknis pekerjaan itu sendiri.

Dampak dari masalah-masalah tersebut, pada akhirnya, kita dituntut bersiap-siap menampung masalah terberat lainnya; tingkat kenaikan gaji yang tidak sesuai harapan, promosi yang tersendat-sendat, bahkan penganugerahan citra buruk pada rapot akhir, dsb., dsb.

Rumitnya, semua orang di lingkungan apa pun mesti merasakan masalah-masalah. Atasan, teman-teman kerja, termasuk juga bawahan, berhak pula atas masalah. Sehingga, benturan-benturan kepentingan untuk melepaskan diri dari masalah-masalah itu pun terjadi. Benturan-benturan itu tidak serta-merta akan mengecil dan memberikan happy ending. Sebaliknya, kerap membesar bagai bola salju. Terlebih lagi, bila bumbu siasat dan politik menabur di atasnya.

Akibat selanjutnya, terjadilah persaingan yang tidak sehat sesama pekerja, kualitas pekerjaan yang makin memprihatinkan, dan tentu saja, “penyakit hati” di antara karyawan yang terlibat. Iri, dengki, sakit hati, kecewa, frustrasi, apatis, putus asa, merasa tidak dihargai, merasa dibuang, dan merasa dizalimi (dianiaya atau diperlukan tidak adil) adalah buah yang mesti dirasakan setiap pekerja, setelah teror masalah-masalah di atas berdatangan. Terlebih lagi, bila serangan-serangan masalah itu didapat dari atasan dan kaumnya. Meranalah jiwa kita. Maka, kesendirian dan kepapaan diri pun tak bisa dihindari.

Maunya, kita menangis sejadi-jadinya. Tapi, apa itu akan menyelesaikan masalah? Karena, sang atasan pun belum tentu akan peduli dan menolong nasib kita. Bahkan, teman-teman seperjuangan pun, bisa jadi, ikut tak memperhitungankan kita lagi. Karena, mereka harus sibuk dengan masalahnya sendiri atau ada alasan lain yang membuatnya jauh dari kita. Sehingga, dunia kerja kita pun semakin sempit, sebatas meja, kursi, dan komputer.

Klimaksnya, kita seakan tak bisa menikmati anugerah gaji (sallary), tunjangan, dan fasilitas perusahaan. Karena, semua seakan sindiran terhadap keberadaan kita yang tidak memberikan andil atau sumbangsih besar untuk perusahaan. Bahkan, jangan-jangan malah kita sudah termasuk kelompok pengangguran terselubung. Karyawan yang diparkir. Atau, malah lebih tepatnya karyawan yang tengah masuk kotak! Apa pun istilahnya sah-sah saja. Karena, bentuknya sama saja; membuat sang karyawan merasa sendiri dan papa.

Seiring dengan itu, kerugian-kerugian hidup pun memburu kita dengan hebat. Ya, kerugian. Karena, seluruh waktu dan kesempatan yang ada harus difokuskan untuk mencari pemecahan masalah. Pikiran dan hati jadi benar-benar terpenjara. Tak ada sedikit pun dorongan untuk merasakan sejuknya air wudhu, kelembutan kain sajadah, dan kesibukan untuk menyebut keagungan namaNya?

Lantas apa jadinya, bila seluruh energi itu hanya ditujukan untuk mencari jawaban dan jalan keluar? Lalu, mana energi untuk Yang Mahaberkehendak? Bukankah kita pun memiliki kewajiban, untuk mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran kita untukNya? Apakah hal itu tidak akan membuatNya cemburu? Ingatkah bahwa sebenarnya Allah pun Mahacemburu? Sadarkah, bila pada akhirnya kita menjadi manusia-manusia yang merugi?

Pada akhirnya, semoga saja tidak, kita bisa menjaga pikiran dan hati agar tidak berburuk-sangka pada semua orang; atasan, teman-teman kerja, keluarga, bahkan Allah! Karena, kita kerap merasa bahwa mereka (termasuk Allah) telah melimpahkan masalah-masalah yang membelenggu pikiran dan hati. Dan, kita bisa juga merasa, Allah tidak adil dan bijaksana, karena membiarkan diri ini larut dalam kegamangan dan kegalauan. Allah dianggap tidak berpihak kepada kita, dengan melepaskan diri kita menjadi bagian dari orang-orang yang memiliki masalah dengan hati. Bahkan, bisa jadi, tergolong orang-orang yang sakit mental! Na’udzubillah.

Masalah itu menjadi semakin menarik, karena pada hakekatnya sudah mengarah pada keraguan akan tauhid. Kebingungan akan kuasa Tuhan. Di beberapa tempat, akhir dari rentetan masalah itu berbuah kemurtadan. Keluar dari agama yang dianutnya dan memilih tidak memiliki keyakinan apa pun. Sebuah jawaban terekstrim atas deraan masalah dan kekecewaan yang terus-menerus.

Sebaliknya, di belahan lain, ada juga yang justru mencoba menekuni kajian-kajian agama sebagai jawaban atas berondongan masalah-masalah itu. Bahkan, mencoba bersikap laksana kaum sufi, dengan segala pakaian modernitasnya. Tujuan awalnya adalah mengindar dari masalah-masalah hati. Namun, buah yang didapat adalah perbaikan akhlak, peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah, serta tumbuhnya kembali semangat melaksanakan kegiatan apapun di ruang kerjanya. Meskipun pekerjaan itu tak lagi berkelas.

Orang-orang bijak beranggapan bertumpuknya beban adalah hidayah. Berdatangannya masalah adalah hidayah. Bahkan, musibah pun adalah hidayah. Itulah cara Tuhan, untuk memperhatikan dan mencintai umatNya. Itulah siasat Allah, untuk menarik pikiran dan hati kita agar kembali dekat denganNya. Karena, siapa saja yang oleh Allah dikehendaki menjadi baik, maka ia akan diuji olehNya.

Lumrahnya, setiap orang di lingkungan mana pun harus merasa biasa saja, ketika ia dimainkan masalah atau persoalan. Besar dan kecilnya persoalan, relatif. Sejatinya, beban atau masalah memang porsi terbesar dalam kehidupan ini. Dan, dentaman persoalan boleh saja membuat seseorang tidak berkutik, mati angin, atau masuk kotak. Namun, laksana suket atau rumput, ia harus terus memperlihatkan kesabaran yang tiada lelah. Ia juga harus terus menunjukkan kesabaran untuk mempertahankan identitas diri. Bahkan, ia juga harus membungkam keraguan banyak orang, dengan terus menegakkan tangkainya. Ia tidak perlu berpikir soal hasil atau imbalan. Tapi, ia melakukan saja yang apa-apa yang terbaik untuk dirinya, keluarganya, masyarakatnya, juga Tuhannya. Itulah gunanya memiliki kesabaran.

Jangan sampai kita dikalahkan masalah. Jangan sampai kita dipermainkan persoalan. Tapi, kita sebagai manusia dengan modal akal dan hati, justru harus berani dan bersungguh-sungguh untuk mengatasinya. Persoalan bukan untuk dihindari. Tapi, ia memang harus dilumat selekas-lekasnya. Dengan begitu, kita bisa bersiap-siap melintasi rintangan atau tantangan lain seraya terus bertafakur dan memuji keagunganNya.

Jangan pernah dikalahkan masalah. []

Tidak ada komentar: